Kamis, 31 Mei 2012

Posting By Romantika Bima (Alan Malingi)

Rumpun Budaya INGE NDAI

Lambitu adalah nama sebuah gugusan pegunungan di sisi tenggara Bima. Dalam Bahasa Bima lama, Lambitu berarti Runcing Menjulang. Di lereng gunung ini didiami oleh orang-orang –orang Donggo Ele yang menyebar mulai dari sisi utara hingga selatan yang kini menjadi desa-desa yaitu Desa Tarlawi ( masuk dalam wilayah kecamatan Wawo), Desa Kuta, Desa Teta, Desa Sambori, Kaboro, dan Kaowa. Pada tahun 2006, sesuai amanat Peraturan Daerah Kabupaten Bima Nomor 2 Tahun 2006 tentang pemekaran wilayah kecamatan Palibelo, Lambitu, Parado dan Soromandi Kabupaten Bima, Lima Desa yaitu Teta, Kuta, Sambori, Kaboro dan Kaowa masuk dalam wilayah kecamatan Lambitu.

Masyarakat yang mendiami lereng Lambitu ini adalah masyarakat yang satu yang tergabung dalam satu komunitas dan rumpun budaya yang dalam bahasa mereka dikenal dengan Rumpun Inge Ndai. Inge Ndai berarti saudara serumpun. Mereka disatukan oleh bahasa rumpun Inge Ndai, kepercayaan dan agama, keahlian, dan ketrampilan serta rasa senasib sepananggugngan sebagai Dou Donggo Ele ( Orang Dataran Tinggi Timur). Orang-orang di gugusan pegunungan Lambitu memiliki karakteristik budaya yang berbeda dengan orang-orang Bima yang menempati hamparan lembah di sebelah timur teluk Bima maupun di wilayah lainnya. Keunikan budaya dan tradisi itu dapat dilihat dari cara berpakaian, atraksi kesenian, upacara adat, rumah adat, bahasa dan keyakinan. Namun sejak masa kesultanan, orang-orang Lambitu dan Donggo sudah mulai membaur dengan suku Mbojo. Mereka sudah memeluk Islam dan melakukan interaksi social dengan suku Mbojo hingga saat ini.

Secara umum kecamatan Lambitu dan Sambori berada pada ketinggian sekitar 500sampai 700 di atas permukaan laut. Puncak tertinggi adalah pada ketinggian 700 meter di atas permukaan laut yaitu di Sambori, Sedangkan desa Kuta berada sekitar 600 meter di atas permukaan laut. Luas wilayah kecamatan Lambitu adalah 5366,96 KM2. Jarak Lambitu dengan kota Bima sekitar 44,3 Km 2 dan dapat ditempuh sekitar 1 jam perjalanan darat. Sekitar 24.488, 7 KM 2 lahan di Lambitu merupakan Hutan Negara.755,82 Hutan dan hamparan lembah. Sedangkan lahan persawahan seluas 1001 KM 2, tegalan dan kebun seluas 1018,9 Km2 dan hanya 102,7 Km2 yang dimanfaatkan sebagai lahan pekarangan.

Jumlah penduduk kecamatan Lambitu sesuai Data Statistik tahun 2009 sebanyak 5.757 Jiwa. Sedangkan jumlah kepala keluarga sebanyak 1.388 KK. Sebanyak 770 KK warga Lambitu menempati rumah sederhana, 608 KK menemnpati rumah semi permanen, dan hanya 8 KK menempati rumah permanen. Sebagian besar warga Lambitu masih menggunakan kayu bakar untuk kebutuhan memasak dan yang paling banyak adalah di desa Sambori. Sementara untuk kebutuhan air minum dan MCK warga di Lambitu masih menggunakan sumber mata air dari sungai-sungai yang mengalir di sekitar wilayah tersebut. Namun saat ini, proyek perpiaan dari PNPM PISEW turut mendukung pasokan air bersih di wilayah ini.

Sarana pendidikan di Lambitu terdiri dari 8 Taman Kanak-Kanak, 7 SDN, 1 Madrasah Ibtidayah, 3 SLTP, 1 SMU dan 1 Madrasah Aliyah. Sedangkan sarana kesehatan baru 1 unit yaitu Puskesmas yang berada di desa Teta, didukung keberadaan 7 posyandu yang tersebar di 5 desa. Di Lambitu baru ada 1 orang dokter umum, 8 orang bidan desa, 11 orang paramedic, 4 orang dukun bayi dan 4 orang dukun sunat.

========================================================================

Ragam Tata Busana Sambori

Salah satu peralatan dan perlengkapan hidup yang sangat diperhatikan oleh masyrakat Sambori dan sekitarnya adalah “Kani Ro Lombo” (pakaian). Pengadaan pakaian harus berpedoman pada adat shahih (adat yang baik). Cara berpakaian, warna, bentuk serta jenisnya tidak boleh bertentangan dengan nilai dan hormat adat. Bagi Masyarakat Sambori, pakaian merupakan salah satu kebutuhan yang mendasar bagi masyarakat. Fungsi utamanya adalah untuk menutup aurat, memilihara kesehatan, sebagai symbol status sosial dan untuk menambah kewibawaan bagi si pemakai.

Tata cara berpakaian, bentuk serta warna dan seni aksesorisnya harus sesuai dengan etika dan estetika masyarakat . Pakaian harus harus diperoleh dengan cara halal, bukan dengan cara yang dilarang oleh agama atau yang haram. Pakaian yang memenuhi persyaratan seperrti itulah yang dinilai “kani ro lombo ma ntika raso” (pakaian yang indah dan bersih) oleh masyarakat.

Bentuk dan warna pakaian beserta kelengkapannya mengundang nilai luhur lagi mulia, harus mampu disosialisasikan oleh si pemakaianya. Karena menurut norma adat antara pakaian dan si pemakai harus sesuai dengan bunyi ungkapan “Raso Ro Ntika Si Kani Ro Lombomu, Karaso Ro Ntikapu Ade ro Itikamu”, secara singkat makna dari ungkapan itu adalah “kalau anda memakai pakaian yang indah dan bersih, maka anda harus pula membersihkan nurani dan itikadmu”.

Pakaian adat masyarakat Sambori agak berbeda dengan pakaian adat suku Bima- Dompu pada umumnya. Dengan kekhasanya, masyarakat Sambori ternyata mampu tampil beda. Ada perbedaan yang jelas antara pakaian sehari – hari dengan resmi, laki – laki dan wanita bahkan remaja dan orang tua.

Pakaian Sehari-Hari Kaum Lelaki 

Untuk pakaian sehari – hari laki – laki dewasa dan tua biasanya memakai Sambolo (ikat kapala) yang terbuat dari kain kapas tenunan sendiri dengan hiasan kotak – kotak berwarna hitam atau putih. Dipadu dengan baju mbolo wo’o atau baju tanpa kerah yang terbuat dari kain katun dijahit sendiri dan biasanya berwarna hitam dan putih. Sarungnya bukan nggoli melainkan tembe me’e (sarung hitam) khas Sambori yang dipintal dan ditenun sendiri dari bahan kapas dan diberi warna hitam dari ramuan nila dan taru. Cara pemakaiannya dengan cara dililitkan pada bagian perut, dalam bahasa Bima disebut Katente. Untuk aksesoris lazimnya mereka mengenakan weri atau bala (kain ikat pinggang) yang diselempangkan melingkar pada bagian perut sampai di atas paha yang berrfungsi untuk menguatkan lilitan sarung atau katente.

Pakaian Perempuan Tua Dan Dewasa 

Lagi pula untuk perempuan tua dan dewasa, mereka umumnya mengenakan baju poro me’e yang terbuat dari kain katun yang dijahit sendiri dan bentuknya menyerupai baju poro pada pakaian adat masyarakat Bima umumnya. Sarungnya yakni tembe me’e, yang dipintal dan tenun sendiri, dibuat agak panjang karena cara memakainya yaitu dengan cara dimasukan secara lurus melalui kepala atau kaki. Kemudian dibiarkan dilepas kembali sampai ke betis atau diatasnya diikat satu kali pada bahu, sekedar pelengkap mereka mengenakankababu (Sejenis Selepang),yang diselempangkan pada bahu. Rambut pun tidak serampangan, mereka sangat menyukai tata rambut dengan membuat semacam ikatan yang di bentuk meninggi di atas kepala yang disebut samu’u tu’u.

Pakaian Untuk Remaja Pria

Untuk remaja pria, ada pakaian khasnya. Mereka biasanya mengenakan baju yang dibuat dari benang katun yang berwarna putih atau warna lainnya biasanya berupa kemeja lengan pendek. Sarungnya tembe me’e yang ditenun sendiri. Ikat pinggang atau salepe, terbut dari kain tenun sendiri. Biasanya berbentuk seperti selendang yang di buat memanjang dengan lebar kurang dari ukuran selendang. Mereka pun mengenakan cincin yang terbuat dari bahan besi putih, perak diberi batu akik.

Pakaian Untuk Remaja Puteri

Untuk remaja putri, lazimnya mengenakan baju poro me’e yang dijahit sendiri yang terbuat dari kain katun. Sarungnya adalah tembe me’e biasanya bergaris putih yang terbuat dari benang kapas yang di pintal dan ditenun sendiri. Supaya kelihatan anggun, remaja putri seringkali mengenakan kababu yang terjuntai dari bahu ke bawah dengan cara diselempangkan. Supaya tanpak manis, rambutnya di tata dengan mengikat di bagian belakang kepala yang sisebut Samu’u. Adapun untuk perhiasan, para remaja putrinya mengenakan kondo (kalung) yang terbuat dari biji – bijian berwarna merah dan hitam , jima edi (gelang kaki), jima rima (gelang tangan) yang terbuat dari besi putih atau perak dan menyerupai ular.

Pakaian Untuk Berpergian 

Pakaian berpergian untuk laki-laki dewasa adalah Sambolo yang terbuat dari kapas yang dipintal dan ditenun sendiri. Warnanya hitam dan kotak-kotak putih. Cara memakainya yaitu menjalin masing-masing ujung sehingga melingkari kepala dalam keadaan tertutup. Cara seperti ini disebut Sambolo Toho. Mereka biasanya memakai baju kemeja kerah pendek yang terbuat dari benang katun atau kain tetoron. Sarungya yaitu tembe me’e yang terbuat dari benang kapas yang ditenun sendiri. Cara memakainya dililitkan pada bagian perut atau yang dikenal dengan katente. Mereka melengkapi diri dengan senjata yang berupa parang yang ujungnya bengkok yang disebut Cila Mboko bagi laki-laki tua dan parang yang bentuknya lurus bagi laki-laki dewasa. Cara memakainya yaitu parang dan sarungnya telah disiapkan tali khusus, kemudian tali tersebut diikatkan melingkar pada pinggang dan parangnya diletakkan pada pinggang sebelah kiri.

Untuk perempuan tua dan dewasa, umumnya mengenakan baju poro me’e yang terbuat dari benang kapas hasil tenunan dan jahitan sendiri. Sarungnya yakni tembe me’e(Sarung Hitam) yang diikatkan pada bagian pinggang kemudian dibiarkan lurus sampai mata kaki. Cara memakai seperti ini disebut Sanggentu. Mereka mengenakan penutup kepala berupa todu(Kerudung) yang terbuat dari kain tipis biasanya berwarna putih dan disongket benang perak. Selalu terselip Wonca(Bakul) yang terbuat dari anyaman bambu yang dipergunakan sebagai bekal di jalan atau berisi rempah-rempah untuk diberikan pada lembaga yang berada di desa lain. Biasanya mereka tidak memakai alas kaki.

Untuk remaja pria, mereka biasanya mengenakan baju kemeja lengan pendek yang terbuat dari benang katun atau tetoron yang berwarna putih. Mereka memakai ikat pinggang yang terbuat dari kain yang dibuat agak melebar sehingga memperkuat ikatan atau lilitan sarung. Senjatanya berupa golok yang terbuat dari besi dan sarung dari kayu yang diselipkan pada pinggang. Alas kaki adalah Sadopa yang terbuat dari kulit binatang atau karet.

Untuk remaja putri biasanya mengenakan tata rambut yang ditata sedemikan rupa sehingga membentuk seperti undak di atas kepala yang disebut samu’u Tuta. Umunya mereka menggunakan baju poro me’e (Baju lengan pendek hitam) yang terbuat dari kain tenun atau dari kain blacu berwarna hitam yang diberi hiasan renda pada ujung bawah dan pada bagian kerahnya. Sarungnya terbuat dari benang kapas yang dipintal dan ditenun sendiri. Supaya tampak anggun, mereka mengenakan kababu yang diselempangkan pada bahu, yang terbuat dari benang katun yang disongket dengan benang perak. Untuk perhiasan, remaja wanita memakai karung manik-manik yang terjuntai dari leher ke dada. Mereka tidak memakai alas kaki. (Sambori = Alan Malingi )

========================================================================

Kreajinan Dan Kreasi Masyarakat Sambori

Pada umumnya Kerajinan tradisional adalah proses pembuatan atau pengadaanperalatan dan perlengkapan hidup mencakup pakaian, perumahan, alat-alat rumah tangga, senjata, alat-alat produksi, alat-alat transportasi dan lain sebagainya. Proses pembuatannya harus berpedoman pada nilai dan norma budaya, sebab semua perlengkapan hidup yang dibuat merupakan salah satu unsur budaya.Ketrampilan yang dimiliki oleh para pengrajin diperoleh dari warisan leluhur tanpa melalui pendidikan formal. Bermodalkan ketrampilan yanng dimiliki, mereka mampu membuat berbagai jenis barang walau dengan peralatan yang sederhana. Bahan baku yang dibutuhkan, mudah diperoleh disekitar lingkungannya, antara lain Tumbuh-tumbuhan, Logam, Batu-batuan, tulang dan Kulit hewan dan sebagainya.


Kerajinan tradisional Sambori kaya dengan jenis dan bentuknya. Bukan hanya tahan lama dan kuat, tetapi juga mengandung nilai seni budaya yang tinggi. Karena itu kerajinan tradisonal Sambori harus dilestarikan oleh Pemerintah dan Masyarakat. Kalau usaha pelestarian dan pengembangan itu tidak segera dilaksanakan secara sungguh-sungguh, maka dikhawatirkan dalam waktu yang tidak lama kerajinan tradisional Sambori akan dilupakan oleh masyarakat pemiliknya.

Hampir 80 porsen kerajinan Sambori menggunakan Daun lontar, baik lontar yang berdaun lebar maupun berdaun kecil. Karena pohon lontar banyak ditemukan tumbuh secara liar di sekitar Sambori dan sekitarnya. Leluhur orang Sambori memang cukup arif melihat peluang di pelupuk mata. Pohon pandan terus dikembangkan untuk menunjang proses kreatifitas kerajinan warga sambori dari masa ke masa.

Ada lebih dari 10 jenis kerajinan anyaman yang dihasilkan dari tangan dingin perempuan-perempuan Sambori. Kerajinan itu yaitu, Waku(Lupe), sejenis payung tradisional Sambori, Saduku, Kula, Kula Baku,Kaleru, Tare(Nampan), Dipi (Tikar), Wonca, Doku, Sarau dan Sadopa.
1. Waku(Lupe) Payung Tradisional Sambori

Orang-orang Sambori menyebut Waku. Tapi orang-orang di Bima menyebutnya Lupe. Waku berbentuk lonjong, menutupi kepala dan badan yang berfungsi sebagai topi/payung sekaligus Jas Hujan. Yah, bisa dikatakan bahwa Waku adalah Jas Hujan Tradisional masyarakat Mbojo tempo dulu terutama di wilayah Donggo Ele yang meliputi Kuta, Teta, Sambori, dan Kaboro. Daun pandan gunung, berdaun lebar lagi panjang, seratnya kuat tidak mudah robek. Waku sangat cocok bagi petani peternak atau pengembala yang sedang bekerja di sawah ladang dan padang nan luas.

Untuk membuat Waku dibutuhkan 8 helai daun pandan berdaun lebar dengan ukuran panjang 2,5 sampai 3 meter. Untuk mengeratkan sambungan tiap helai daun pandan diikit dengan tali dari ijuk (Lidi). Cara membuat Waku tidaklah terlalu sulit bagi masyarakat Sambori. Daun Pandan yang telah diambil dari pohonnya dikeringkan lebih dulu, kemudian dianyam. Cara menganyamnya yaitu dengan menyilang daun pandan yang satu dengan daun pandan yang lainnya dan hampir sama dengan mengayanyam Tikar Pandan atau Dipi Fanda. Yang membedakakanya adalah finishing dari Waku yang menyerupai Topi atau payung. Dibutuhkan waktu satu hari untuk menganyam Waku sampai menghasilkan anyaman Waku yang siap untuk dikenakan terutama untuk melindungi diri dari hujan dan terik matahari.

Waku sangat unik. Ini adalah sebuah warisan leluhur masyarakat Sambori yang perlu dilestarikan keberadaanya. Waku dan komoditi lainnya dari desa ini sangat berpotensi sebagai salah satu souvenir atau oleh-oleh buat wisatawan yang berkunjung. Hal ini tentunya akan menggairahkan para pengrajin di wilayah ini untuk memproduksi Waku (Lupe) dan kerajinan ketrampilan lainnya untuk menopang perekonomian mereka.
2. Saduku

Orang-orang Bima menyebutnya Sanduru. Saduku adalah tempat/wadah untuk menyimpan nasi. Ketika orang-orang Sambori ke kebun atau ke ladang mereka selalu membawa makanan dengan Saduku. Ukuran Saduku juga bermacam-macam, ada yang kecil dan ada juga yang besar. Saduku kecil dengan ukuran tinggi 25 cm dan lebar 20 cm digunakan untuk menyimpan nasi untuk ukuran satu sampai dua orang. Sedangkan yang besar dugunakan untuk kebutuhan lebih dari lima orang. Pengalaman warga Sambori, menyimpan nasi dengan Saduku bisa bertahan sampai 3 hari dan tidak basi.

Bahan dasar pembuatan Saduku adalah daun lontar yang dibelah kecil-kecil. Proses pembuatannya melalui perendaman sekitar 2 jam kemudian dijemur. Lalu pada sore hari hingga malam hari kaum perempuan menganyam saduku secara bersama-sama. Dalam satu hari, warga Sambori mampu menghasilkan 3 sampai 5 Saduku, jika tidak ada kesibukan lain seperti menanam atau bekerja di sawah.

Menurut pengalaman orang-orang Sambori, Saduku yang kuat dan tahan lama sadalah Saduku yang dianyam dari serat Laju. Laju adalah pohon jenis palma, tetapi pohonnya tidak tinggi seperti Fu’u Ta’a (Pohon Lontar) dan Ni’u (Nyiur). Pohon ini banyak terdapat di lahan-lahan kering dan dataran tinggi sekitar Sambori. Daunnya berserat dan kuat tidak mudah putus atau terpotong. Dari Ro’o Laju dibuat dua jenis wadah untuk menyimpan kacang hijau, kadele atau jagung dan beras. Bentuknya bulat panjang seperti kantung, dengan ukuran 25 kilogram. Berdasarkan ukurannya, jenis wadah Dari Ro’o Laju terdiri dari dua jenis, yaitu yang besar bernama Balase dan yang kecil disebut Saduku/ Sanduru.


3. Kula

Kula adalah Wadah untuk menyimpan berbagai jenis barang kebutuhan sehari-hari. Fungsinya bermacam-macam. Ada Kula Lo’i (Kula Obat)Kula tempat menyimpan segala jenis ramuan obat tradisional, pada umunya berbentuk segi empat yang dibagi dalam beberapa kotak kecil.Kula Mama Kula untuk menyimpan sirih, pinang dan kapur sirih. Dan Kula Bongi (Kula Beras),Kula untuk menyimpan beras

Bentuknya bersegi empat dengan ukuran 15 sampai 20 cm. Bahan utama pembuatan Kula adalah daun lontar yang dibelah kecil-kecil.Setiap rumah orang Sambori wajib memiliki Kula. Biasanya Kula disimpan di ruang keluarga untuk menerima tamu. Proses pembuatannya juga sama dengan saduku, dikerjakan secara bersama-sama oleh para gadis dan kaum perempuan Sambori. Dalam sehari mereka mampu menghasilkan lebih dari lima buah Kula.
4. Kula Baku

Hampir sama dengan Kula, hanya saja ukuran Kula Baku lebih kecil daripada Kula. Hasil anyaman ini berfungsi untuk menyimpan Sirih maupun rempah-rempah seperti kunyit, jahe, bawang putih, dan lain-lain. Bahan utama pembuatan Kula Baku juga adalah daun lontar yang dibelah kecil-kecil.Setiap rumah orang Sambori wajib memiliki Kula. Bersama Kula, Kula Baku juga disimpan di ruang keluarga untuk menerima tamu. Proses pembuatannya juga sama dengan Kula dan Saduku, dikerjakan secara bersama-sama oleh para gadis dan kaum perempuan Sambori. Dalam sehari mereka mampu menghasilkan lebih dari lima buah Kula Baku.
5. Kaleru

Hampir sama dengan anyaman lainnya, Kaleru juga berfungsi untuk menyimpan Sirih maupun rempah-rempah seperti kunyit, jahe, bawang putih, dan lain-lain. Bahan utama pembuatan Kaleru juga adalah daun lontar yang dibelah kecil-kecil.Setiap rumah orang Sambori wajib memiliki Kaleru. Bersama Kula, Kula Baku juga disimpan di ruang keluarga untuk menerima tamu. Proses pembuatannya juga sama dengan Kula dan Saduku, dikerjakan secara bersama-sama oleh para gadis dan kaum perempuan Sambori. Dalam sehari mereka mampu menghasilkan lebih dari lima buah Kaleru.

6. Dipi Fanda (Tikar Pandan)

Dipi berarti tikar. Sedangkan Fanda adalah pandan. Jadi Dipi Fanda adalah tikar pandan. Membuat tikar pandan adalah tradisi turun temurun masyarakat Sambori. Seorang anak perempuan harus memiliki keahlian dalam menganyam tikar pandan. Hampir setiap rumah di Sambori, selalu ditemui orang-orang yang menganyam tikar. Anyaman tikar pandaan sebagian besar digunakan untuk kebutuhan rumah tangga, pamaco(sumbangan untuk hajatan keluarga), dan selebihnya untuk dipasarkan keluar Sambori.

Proses membuat tikar pandan, dimulai dengan pengambilan daun pandan yang berduri. Kemudian, daun dipotong dengan alat penjangat. Lalu, daun direbus dengan air hujan atau air sungai agar warna pandan berganti menjadi putih. Setelah direbus, daun dijemur agar daun benar-benar kering. Setelah kering, daun pandan diluruskan agar pengerjaan pada saat menganyam mudah dilakukan. Dalam satu minggu, perempuan Sambori bisa mengerjakan tikar pandan sebanyak 4 buah. Pekerjaan ini harus benar-benar yang sudah ahli. Untuk mendapatkan ukuran tikar yang besar, harus pandai menyambungnya.
7. Wonca (Bakul) Dan Doku (Nyiru)

Disamping kerajinan dari daun lontar, masyarakat Sambori juga menekuni kerajinan dari bambu dan rotan seperti Wonca atau bakul dan Doku(Nyiru). Namun proses pembuatan kerajinan anyaman ini tidaklah seramai dan sebanyak warga yang melakoni anyaman dari daun pandan atau lontar.

Doku adalah wadah untuk menapis dan membersihkan beras dan kulit gabah atau kerikil yang bercampur dengan biji gabah. Beras yang sudah ditapis atau disaring dengan Doku di masukkan dalam wadah yang bernama Wonca (bakul). Ukuran Wonca bermacam-macam, ada yang besar, sedang dan ada yang berukuran kecil.

Selain sebagai wadah untuk menyimpan gabah dan beras, Doku dan Wonca juga menjadi wadah untuk menyimpan berbagai jenis bahan pangan lainnya, seperti kacang kedelai, kacang hijau , jagung dan lain-lain.
8. Sarau ( Camping)

Sarau adalah topi tradisional Mbojo yang dianyam dari bahan baku bambu. Sarau dapat dipakai oleh kaum laki-laki dan kaum perempuan, bila mereka pergi ke sawah ladang, ke gunung , ke tegalan dan kebun. Bukan hanya untuk melindungi dari kehujanan tetapi juga untuk melindungi diri dari panas terik matahari.

Para pengrajin yang memiliki ketrampilan dalam menganyam tersebar di beberapa desa. Desa-desa yang sampai sekarang masih aktif memproduksi sarau antara lain Desa Ntori, Maria dan Desa-desa lain di Kecamatan Wawo Kabupaten Bima, Desa Lela Mase dan Nungga di Kecamatan Rasanae Timur Kota Bima, dan beberapa desa di Kecamatan Sape Kabupaten Bima.
9. Tare (Nampan) Dari Rotan

Masyarakat Sambori juga kreatif membuat Tare (Nampan) dari rotan dan Bambu. Kreatifitas ini dilakukan untuk kepentingan upacara dan menghadiri undangan Jambuta ( hajatan) keluarga baik yang ada di Sambori maupun di luar Sambori. Biasanya Tare-tare ini dibawa oleh kaum perempuan untuk menyimpan perangkat sirih pinang dan makanan “ Teka Ra Ne’e “( Sumbangan untuk keluarga dan kerabat yang berhajat berupa beras, sayur dan buah-buahan serta bahan makanan lainnya.

10. Sadopa (Sandal Tradisional Sambori)

Tangan-tangan terampil orang Sambori tidak hanya menyentuh anyaman, tapi masalah alas kakipun tak luput menjadi perhatian. Sadopa adalah sandal tradisional yang telah dibuat masyarakat Sambori sejak berabad-abad lamanya. Bahan Dasarnya adalah Kayu hutan yang kuat dan tahan lama seperti kayu Sopa, Kayu Impi dan ada juga dari kayu Nangka.

Cara membuat Sadopa adalah dengan memotong kayu-kayu tersebut dan dibentuk menyerupai sandal sesuai ukuran kaki pemakainya. Hanya saja perbedaannya dengan sandal, Sadopa hanya mempunyai Tangkai di depan yang berfungsi untuk memasukan celah antara Jari dengan ibu jari kaki. Setiap Rumah di Sambori memiliki Sadopa yang perlu terus dilestarikan untuk menjadi souvenir bagi wisatawan.

11. Peralatan Dapur

Hampir seluruh peralatan Dapur masyarakat Sambori dibuat dengan cara tradisional dan secara utuh diambil dari alam. Beberapa peralatan dapur itu adalah Tungku perapian yang berasal dari batu-batu gunung dan batu kali, piring nasi (Kale’a) dari potongan buah labu( Bima= Wila), sendok makan dari batok kelapa, serta tempat air dari labu (wila).

Cara pembuatan alat perkakas itu cukup sederhana yaitu dengan membentuk batok Kelapa misalnya untuk menjadi sendok dan piring nasi. Demikian juga perkakas lainnya. Alat-lat ini cukup kuat, tahan lama dan tidak mudah pecah. Disamping itu, menyimpan air dengan wadah dari labu sangat baik untuk menjaga kejernihan air dan tetap segar jika diminum di teriknya mentara saat di sawah/ lading.

12. Tenunan Sambori

Tenunan Tradisional Bima – Dompu khususnya Sambori jika dicermati secara seksama, di dalamnya mengandung nilai-nilai yang pada gilirannya dapat dijadikan sebagai acuan dalam kehidupan sehari-hari bagi masyarakat pendukungnya. Nilai-nilai itu antara lain: kesakralan, keindahan (seni), ketekunan, ketelitian, dan kesabaran. Di Sambori, menenun merupakan seni kerajinan tangan turun - temurun yang diajarkan kepada anak cucu demi kelestarian seni tenun tersebut. Motif tenunan yang dipakai seseorang akan dikenal atau sebagai ciri khas dari daerah mana orang itu berasal, setiap orang akan senang dan bangga mengenakan tenunan asal daerahnya.

Dalam masyarakat tradisional Sambori, tenunan sangat bernilai dipandang dari nilai simbolis yang terkandung didalamnya, termasuk arti dari ragam hias yang ada karena ragam hias tertentu yang terdapat pada tenunan memiliki nilai spiritual dan mistik menurut adat. Sedangkan, nilai ketekunan, ketelitian, dan kesabaran tercermin dari proses pembuatannya yang memerlukan ketekunan, ketelitian, dan kesabaran. Tanpa nilai-nilai tersebut tidak mungkin akan terwujud sebuah tenun songket yang bagus. Pada umumnya, ragam hias dan warna pada tenunan Sambori adalah warna hitam dan kotak-kotak/garis putih kecil-kecil. Pada masa lalu, perempuan Sambori memproduksi Sarung, kadang juga Sambolo (Destar) dan Weri (Ikat Pinggang).

========================================================================

Syair Kehidupan Lereng Lambitu

Masyarakat Sambori dan sekitarnya adalah masyarakat yang memiliki cita rasa seni tinggi. Syair – syair kehidupan dan keluguan peradaban tercecer dari mulut-mulut damai laki dan perempuan Sambori. Hampir seluruh aktifitas hidup di Sambori tidak terlepas dari syair dan nyanyian yang berisi pantun, nasehat, petuah serta pujian terhadap yang Maha Kuasa.Salah satu contoh adalah syair Belaleha yang berarti Hidup Mati Dengan Tuhan. Setelah Islam masuk di Sambori, syair Belaleha pun disesuaikan dengan ajaran dan aqidah Islam.

Saat ini seni tari dan atraksi kesnian Sambori yang masih tersisa tinggal beberapa jenis saja. Masih ada lima jenis atraksi kesenian baik berupa tarian, atraksi ketangkasan maupun seni music vocal. Atraksi itu adalah Kalero, Belaleha, Arugele, Bola La Mbali dan Mangge Ila, Mpa’a Manca serta Mpa’a Lanca.

1. Kalero
Kalero, yaitu jenis tari upacara untuk menghormati arwah leluhur serta agar anak cucunya yang masih hidup dijauhkan dari bencana. Sebenarnya Kalero bukanlah jenis tari utuh, melainkan merupakan perpaduan tari dan seni musik vokal. Tarian dan Nyanyian Kalero diiringi musik gendang, gong dan Serunai. Sambil bernyanyi, para penari Kalero melakukan gerakan berlari kecil mengelilingi satu sama lain dalam posisi melingkar.

Penari Kalero terdiri dari enam sampai delapan orang penari. Sedangkan pemain musik terdiri dari lima orang yaitu dua orang penabuh gendang, satu orang pemukul Tawa-Tawa( Bima= Katongga), dan seorang peniup Sarone (Sejenis alat musik tiup khas bima yang dibuat dari daun lontar.
2. Belaleha

Menurut sejarahwan dan budayawan Bima, Belaleha merupakan seni music vocal yang tertua. Seni vocal ini berisikan doa dan pengharapan agar tanah dan negeri, keluarga dan masyarakat senantiasa mendapat perlindungan dari Sang Khalik dan dijauhkan dari bencana. Secara umum alunan vocal Belaleha dilantunkan pada acara sunatan/khitanan dan acara pernikahan. Sehingga di kalangan masyarakat Sambori dikenal dengan Belaleha Suna ro Ndoso (Khitanan) dan Belaleha Nika Ro Neku(Pernikahan). Syair Belaleha berisi petuah, nasehat, pantun dan pujian dan harapan kepada yang Maha Kuasa.

Sesuai fungsinya, Belaleha dibagi dalam dua jenis yaitu Belaleha Randa dan Belaleha Ranca. Belaleha Randa dihajatkan untuk penobatan seseorang dalam satu upacara adat dan pada masa pra Islam untuk persembahan sesajian, tetapi setelah Islam ritual itu tidak dilaksanakan lagi. Sedangkan Belaleha Ranca digelar untuk hiburan biasa.

Syair Belaleha

Belaleha,
Alona Tembe Kala
Aloyilana matiri nggunggu
Ndoo poda dikatente Cepe


Belaleha
Ria Ese Tolo Reo
Mamuna Tembe me’e ma riu
Dodoku di salampe cempe

Belaleha
Nuri se tolo naru
Manangi la ntonggu tolu
Oi oluna sacanggi moro

Bela leha
Akadu la joa
Makidi katake hidi
Rasapana ra ngari dompo

Belaleha
Akadu dou matua
Ma wi’ina nggahi karenda
Karenda da mbali mbua

Catatan : syair ini dilantunkan untuk menghibur anak-anak yang lagi disunat. Dan dihajatkan untuk meringankan rasa sakit sang anak ketika disunat.


3. Arugele

Secara umum Arugele adalah tarian dan nyanyian yang berhubungan dengan tanam dan panen. Oleh karena itu, atraksi seni ini biasa digelar di sawah dan huma ketika mulai menanam maupun pada saat panen. Tarian dan nyanyian Arugele dibawakan oleh 6 sampai 8 orang perempuan baik dewasa maupun para gadis. Sambil menyanyi mereka memegang tongkat kayu yang ujungnya telah dibuat runcing dan ditancapkan ke tanah. Mereka berbaris dan melakukan gerakan menancapkan kayu yang diruncingkan itu kemudian menaburkan butir-butir padi, jagung atau kedelai ke tanah yang telah mereka lubangi dengan kayu runcinh tadi. Sementara kaum lelaki mengikuti alunan langkah mereka untuk merapikan dan menutup kembali tanah yang telah ditaburi bibit tadi.

Di kalangan masyarakat Bima ada sejenis tari yang mirip dengan arugele Donggo Ele, yaitu tari sagele, yang biasanya dipentaskan ketika menanam padi di sawah ladang , kemungkinan tari Sagele berasal dari tari Arugele Donggo Ele. Tari sagele hanya dikenal oleh Orang Bima di kecamatan Wawo dan sekitarnya, serta di kelurahan Lelamase Kota Bima.

Seperti halnya Belaleha, Arugele pun berkembang dan dilantunkan bukan hanya pada saat menanam atau panen, tapi nyanyian Arugele juga dilantunkan pada saat acara khitanan maupun pernikahan.

Syair Arugele Ngguda (Arugele Untuk Menanam)

Gele Arugele
Gele Badoca
Lirina Pana Liro
Kone di sarei todu kai sarau
Jagaku palona pahumu piri pela
Bohasi baliro pahu me’e taluru

Gele Arugele
Lino na tolo lino ntauka kantolo
Linona moti lino ntau balata
Linona ade tiwara dou ma eda

Gele Arugele
Ura bura aka main onto doro
Madama dodo dasaina tolo
Jagaku mbeca tembe do’o ra cepe

Gele Arugele
Papa pai la tana’u ra nefa
Campo konci la sabua mafaka
Musyawara kabou mampasa

Catatan : Syair ini menggambarkan suasana di sawah lading ketika menanam, hijaunya alam, terik mentari, nyanyian burung, kebersamaan dan seluruh aktifitas para petani di sawah/lading dan huma.

4. Nyanyian Bola La Mbali dan Mangge Ila

Nyanyian ini cukup sacral. Alunan syair dan lagunya cukup syahdu. Menurut pengakuan para penuturnya, syair dan lagu ini dinyanyikan pada saat-saat tertentu saja yaitu ketika seorang anak mengalami penyakit cacar, dan orang-orang yang mengalami penyakit menahun. Nanyian ini sekaligus menjadi mantra untuk memohon kesembuhan kepada Sang Khalik. Biasanya anak-anak yang kena cacar ditidurkan, kemudian para perempuan/kaum ibu duduk melingkar di sekeliling si sakit dan melantunkan syair Mangge Ila dan Bola La Mbali.

Syair Bola La Mbali
E, hai Bola La Mbali
Ndo Au La Mbali
Sima Kaila
Ei la dei bola
Ngaundaina, e bola la mbali

Syair Mengge Ila
Mangge ila nai 2 x
Ilae bala mange
E Ruma ra ndaita Ruma
Ruma ndaita su’u kai ruma
Ila e Mangge….!

5. Mpa’a Manca

Tari ini dikategorikan Tari Perang yang dimainkan oleh dua orang prajurit laskar kesultanan, ciptaan Sultan Abdul Khair Sirajuddin. Diilhami oleh gerakan tari Mbojo Mpa’a kapodo (tari rakyat) yang dipandukan dengan gerakan penca pinang kabau. Diiringi musik genda Mbojo, bersenjatakan kopodo (sepotong kayu ukuran sekitar 25 cm dan tumpul) atau pemukul dengan aksesoris pasapu monca (sapu tangan kuning) di tangan kiri. Tari ini berkembang pesat di Sambori dan sekitarnya hingga saat ini.

Gerakan Mpa’a Manca mirip dengan pencak silat. Pada tahap awal dua pendekar yang akan berlaga saling menampilkan gerakan-gerakan dan atraksi individu yang cukup menarik. Kemudian pada fase kedua mereka mulai memainkan gerakan menggunakan Kapodo dan saling menyerang. Ketika para pendekar saling menyerang alunan gendang pun trus bertalu-talu. Atraksi kesenian ini berdurasi sekitar 15 menit. Dan menjelang berakhirnya atraksi kedua pendekar bersalaman dan berangkulan sambil memberi hormat kepada para penonton.

6. Mpa’a Lanca(Adu Betis)

Tarian dan atraksi kesenian tradisional Mbojo khusus untuk kaum pria didominasi oleh tarian dan atraksi ketangkasan. Tak ketinggalan pula di Sambori dan sekitarnya. Mpa’a Lanca atau yang dikenal juga dengan atraksi Adu Betis adalah salah satu atraksi ketangkasan yang bisa digolongkan dengan atraksi paling tua di tanah Bima.

Hanya orang-orang tertentu saja yang bisa memainkan atraksi ini. Karena dalam atraksi ini membutuhkan keahlian dan kekebalan khsusus bagi para pemainnya. Sebelum atraksi dilangsungkan, para pemain Lanca harus diisi dulu dengan mantera-mantera dan ilmu kebal.

Lanca dimainkan oleh 4 orang laki-laki dewasa dengan ketentuan 2 orang menyerang dengan menendang betis lawannya. Sementara dua orang lainnya bertahan dengan mendempetkan betis masing-masing. Sebagaimana Mpa’a Manca, Lanca juga diringi alunan gendang, gong dan serunai. Atraksi ini berlangsung dalam durasi sekitar 15 menit. Dan sebelum atraksi berakhir, para pemain bersalaman dan memberi hormat kepada para penonton.
.
========================================================================

Sadopa Sandal Anti Rematik

Sadopa adalah sandal tradisional masyarakat Bima yang digunakan berabad-abad lamanya. Mereka (nenek moyang masyarakat Bima) hidup menyatu dengan alam dan rata-rata berusia lebih dari seratus tahun. Kenapa usia mereka bisa seperti itu ? menurut penelitian, salah satunya adalah karena sandal Sadopa yang dipakainya sehari-hari yang cukup efektif untuk melancarkan peredaran darah terutama mulai dari kaki. Sadopa yang cukup keras dan berpadu dengan jalanan yang berbatu dan kerikil sangat membantu pijatan telapak kaki untuk memompa darah terutama ketika beraktifitas.

Sadopa terbuat dari Kayu hutan yang kuat dan tahan lama seperti kayu Sopa, Kayu Impi dan ada juga dari kayu Nangka. Cara membuat Sadopa adalah dengan memotong kayu-kayu tersebut dan dibentuk menyerupai sandal sesuai ukuran kaki pemakainya. Hanya saja perbedaannya dengan sandal, Sadopa hanya mempunyai Tangkai di depan yang berfungsi untuk memasukan celah antara Jari dengan ibu jari kaki. Pada masa lalu, setiap Rumah masyarakat Bima memiliki Sadopa.Karena sesuai zamannya, hanya Sadopalah yang mereka tahu dan mudah cara pembuatannya.

Dalam konteks kekinian, Sadopa tentu masih relevan baik untuk kesehatan maupun sebagai souvenir untuk wisatawan. Hal ini tentunya disamping untuk melestarikan Sadopa, juga sebagai promosi wisata dan peningkatan taraf hidup masyarakat.

Sumber : romantika bima

Tidak ada komentar:

Posting Komentar