Minggu, 13 Mei 2012

Komodo Dalam Surat Sultan Bima

Saat ini publik mengetahui bahwa Komodo, reptile terbesar di abad ini yang telah menjadi “The Seven Wonder “ versi UNESCO itu berada di wilayah Propinsi NTT. Tapi pada masa lalu pulau Manggarai, Flores dan sekitarnya, termasuk pulau kecil  Rinca dan Padar, tempat Komodo itu tinggal merupakan bagian dari teritorial kerajaan Bima.

Tulisan ini sebenarnya mempertegas kembali infomasi yang dihimpun adinda Ko’o Sumiyati, mahasiswi Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin, Angkatan 2007 berkaitan dengan kiprah Sultan Ibrahim ( Ma Wa’a Taho Parange, 1881-1915) untuk menjaga,merawat dan melestarikan ekosistim dan spesies Komodo dari kepunahan. Dengan kata lain bahwa upaya pelestarian Komodo sebenarnya sudah dilakukan oleh kearifan local tempo dulu melalui surat dan peraturan hadat yang dibuat Sultan Ibrahim bersama masyarakat di wilayah Manggarai dan sekitarnya.


Dalam salinan Terjemahan/Aliaksara Naskah Sultan Bima : DR Hj. Sitti.  Maryam M. Salahuddin,  SH. Membaca arsip dari Residen  Timor dan Daerah  Takluknya tertanggal 30 Desember  1914 No. 4031/40, dapat diuraikan bahwa sejak Raja dan para Sultan Bima menjalin hubungan dan memiliki kekuasaan di Manggarai, Sultan Bima telah menerbitkan UU perlindungan terhadap hewan purba tersebut. Dengan mempertimbangkan kemaslahatan dan tentu saja tujuan serta kegunaan serta nilai lebih pada pemeliharaan dan penjagaan kelangsungan hidup hewan tersebut, Sultan sadar betul bahwa komodo merupakan hewan langka dan wajib hukumnya untuk dijaga kelestarianya.

Sultan Ibrahim menerbitkan UU perlindungan terhadap komodo, yang terdiri dari 5 pasal yang saling berkaitan satu pasal dengan pasal lainya. Tahun 1914 ayah sultan Muhammad Salahuddin itu mengeluarkan UU tersebut dengan banyak kemungkinan asumsi, bisa saja dengan melihat perkembangan perdagangan antar pulau yang semakin meningkat dan barang-barang dagangan yang semakin tidak terhitung asalkan memiliki fungsi yang menarik. Dan tentu saja komodo sebagai hewan yang erotis menjadi salah satu incaran karena kulitnya tentu saja akan dibayar mahal.

Dalam naskah tersebut Sultan Ibrahim memerintahkan kepada semua masyarakat yang berada sama dengan komunitas komodo membiarkan hewan tersebut hidup secara bebas dan melarang memburu apalagi merusak sarang dan semua tindakan yang akan mengancam kelangsungan habitat komodo. Seperti yang tertulis dalam pasal 3 menyatakan:

Menangkap  atau membunuh  binatang  tersebut dalam pasal 1″, yang berada di atas atau di dalam  rumah atau di atas pekarangan  rumah yang bersangkutan maupun  tempat-tempat  tertuntup, terhadap penghuni rumah dan pengguna  tanah dan pihak ketiga dengan  persetujuannya  dibebaskan. Pengecualian  yang sama berlaku untuk mengambil, merusak atau mengganggu  sarang-sarang  binatang yang ada disana” 

Manggarai dan sekitarnya telah menjadi wilayah kerajaan Bima sejak abad 15, pada masa pemerintahan Raja Manggampo Donggo dan Perdana Menteri Ma Wa’a Bilmana. Putra Bilmana, La Mbila Ma Kapiri Solor merupakan tokoh militer muda yang gagah berani yang melakukan ekspansi kekuasaan hingga ke kepulauan Tomor dan Alor. Baru pada tahun 1929, Belanda memaksa Kesultanan Bima untuk melepaskan Manggarai dengan membentuk daerah swapraja.

Kewajiban menjaga kelangsungan habitat komodo dapat dirasakan sekarang, wilayah NTT menjadi salah satu tujuan wisata paling ramai dikunjungi. Dan patut menjadi kebanggaan bersama bahwa leluhur kita bukan saja mengurusi wilayah politik dan Negara melainkan menjaga kelangsungan kehidupan Fauna menjadi hal yang harus juga diperhatikan.Di isis lain, masyarakat Bima juga patut berbangga karena pemimpinnya pernah memiliki visi kedepan bahwa pada suatu zaman yang tak akan mungkin ia gapai, Komodo itu akan menjadi obyek tontonan dan penelitian masyarakat dunia,dan tidak  lagi masuk dalam wilayah kekuasaan kerajaannya. (Sumber Ko’o Sumiyati )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar