Saat
ini publik mengetahui bahwa Komodo, reptile terbesar di abad ini yang
telah menjadi “The Seven Wonder “ versi UNESCO itu berada di wilayah
Propinsi NTT. Tapi pada masa lalu pulau Manggarai, Flores dan
sekitarnya, termasuk pulau kecil Rinca dan Padar, tempat Komodo itu
tinggal merupakan bagian dari teritorial kerajaan Bima.
Tulisan ini
sebenarnya mempertegas kembali infomasi yang dihimpun adinda Ko’o
Sumiyati, mahasiswi Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra Universitas
Hasanuddin, Angkatan 2007 berkaitan dengan kiprah Sultan Ibrahim ( Ma
Wa’a Taho Parange, 1881-1915) untuk menjaga,merawat dan melestarikan
ekosistim dan spesies Komodo dari kepunahan. Dengan kata lain bahwa
upaya pelestarian Komodo sebenarnya sudah dilakukan oleh kearifan local
tempo dulu melalui surat dan peraturan hadat yang dibuat Sultan Ibrahim
bersama masyarakat di wilayah Manggarai dan sekitarnya.
Dalam salinan Terjemahan/Aliaksara Naskah Sultan Bima : DR Hj.
Sitti. Maryam M. Salahuddin, SH. Membaca arsip dari Residen Timor dan
Daerah Takluknya tertanggal 30 Desember 1914 No. 4031/40, dapat
diuraikan bahwa sejak Raja dan para Sultan Bima menjalin hubungan dan
memiliki kekuasaan di Manggarai, Sultan Bima telah menerbitkan UU
perlindungan terhadap hewan purba tersebut. Dengan mempertimbangkan
kemaslahatan dan tentu saja tujuan serta kegunaan serta nilai lebih pada
pemeliharaan dan penjagaan kelangsungan hidup hewan tersebut, Sultan
sadar betul bahwa komodo merupakan hewan langka dan wajib hukumnya untuk
dijaga kelestarianya.
Sultan Ibrahim menerbitkan UU perlindungan terhadap komodo, yang
terdiri dari 5 pasal yang saling berkaitan satu pasal dengan pasal
lainya. Tahun 1914 ayah sultan Muhammad Salahuddin itu mengeluarkan UU
tersebut dengan banyak kemungkinan asumsi, bisa saja dengan melihat
perkembangan perdagangan antar pulau yang semakin meningkat dan
barang-barang dagangan yang semakin tidak terhitung asalkan memiliki
fungsi yang menarik. Dan tentu saja komodo sebagai hewan yang erotis
menjadi salah satu incaran karena kulitnya tentu saja akan dibayar
mahal.
Dalam naskah tersebut Sultan Ibrahim memerintahkan kepada semua
masyarakat yang berada sama dengan komunitas komodo membiarkan hewan
tersebut hidup secara bebas dan melarang memburu apalagi merusak sarang
dan semua tindakan yang akan mengancam kelangsungan habitat komodo.
Seperti yang tertulis dalam pasal 3 menyatakan:
“Menangkap atau membunuh binatang tersebut dalam pasal 1″,
yang berada di atas atau di dalam rumah atau di atas pekarangan rumah
yang bersangkutan maupun tempat-tempat tertuntup, terhadap penghuni
rumah dan pengguna tanah dan pihak ketiga dengan persetujuannya
dibebaskan. Pengecualian yang sama berlaku untuk mengambil, merusak
atau mengganggu sarang-sarang binatang yang ada disana”
Manggarai dan sekitarnya telah menjadi wilayah kerajaan Bima sejak
abad 15, pada masa pemerintahan Raja Manggampo Donggo dan Perdana
Menteri Ma Wa’a Bilmana. Putra Bilmana, La Mbila Ma Kapiri Solor
merupakan tokoh militer muda yang gagah berani yang melakukan ekspansi
kekuasaan hingga ke kepulauan Tomor dan Alor. Baru pada tahun 1929,
Belanda memaksa Kesultanan Bima untuk melepaskan Manggarai dengan
membentuk daerah swapraja.
Kewajiban menjaga kelangsungan habitat komodo dapat dirasakan
sekarang, wilayah NTT menjadi salah satu tujuan wisata paling ramai
dikunjungi. Dan patut menjadi kebanggaan bersama bahwa leluhur kita
bukan saja mengurusi wilayah politik dan Negara melainkan menjaga
kelangsungan kehidupan Fauna menjadi hal yang harus juga diperhatikan.Di
isis lain, masyarakat Bima juga patut berbangga karena pemimpinnya
pernah memiliki visi kedepan bahwa pada suatu zaman yang tak akan
mungkin ia gapai, Komodo itu akan menjadi obyek tontonan dan penelitian
masyarakat dunia,dan tidak lagi masuk dalam wilayah kekuasaan
kerajaannya. (Sumber Ko’o Sumiyati )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar