Kamis, 31 Mei 2012

MISTERI KARO’A PIDU (Oleh : HR.M. Agoes Soeryanto Dompu)



(MISTERI AL Qur`an sebanyak 7 buah)
(Oleh : HR.M. Agoes Soeryanto Dompu)
Syekh Nurdin Dan 3 Ulama Dari Negeri Seberang

Sejarah di Dana Dompu mencatat, ketika Syekh Nurdin seorang ulama terkemuka keturunan Arab Magribi menginjakan kakinya di Bumi Dompu sekitar 1528 untuk menyebarkan Islam sambil berdagang, saat itu Dompu di bawah Pemerintahan Raja Bumi Luma Na’e yang bergelar Dewa Mawa’a Taho (Saat itu Dompu belum mengenal Islam/masih menganut ajaran Hindhu) sebab saat itu Kerajaan Dompu masih di bawah kekuasaan kerajaan Majapahit (Raja Hayam Wuruk) dengan Mahapatih Sang Gajah Mada Amurwa Bumi.

Kehadiran syekh Nurdin di Kerajaan Dompu tampaknya mendapat simpatik dari rakyat Dompu terutama Raja Dompu saat itu. Bahkan lambat laun ajaran Islam yang di bawa oleh Syekh Nurdin dengan cepat dapat diterima oleh rakyat Kerajaan Dompu termasuk dari para kalangan Istana (Bangsawan).

Konon cerita,salah seorang putri dari keluarga Kerajaan Dompu tertarik terhadap ajaran Islam yang di bawa oleh Syekh Nurdin. Sang Putripun akhirnya belajar dan memeluk Islam di hadapan syekh Nurdin, bukan itu saja,sang putri Raja itupun akhirnya menaruh hati dan menikah dengan Sang Ulama tersebut.

Putri Raja yang tidak diketahui nama aslinya itupun akhirnya mengganti namannya setelah menikah dengan syekh Nurdin dengan Islam yakni ST.Hadijah. Dari pernikahan dengan Syekh Nurdin itu dikaruniai 3 orang anak 2 orang putra dan 1 orang perempuan masing – masing bernama Syekh Abdul Salam , Syekh Abdullah dan Joharmani.

Pada saat Syekh Nurdin dan keluarganya berangkat ibadah haji ke tanah suci Makkah AL Mukarrahmah sambil belajar untuk memperdalam ilmu Agama Islam, Syekh Nurdin dan dan salah seorang putranya yakni Syekh Abdullah, tidak kembali ke Dompu karena meninggal di Makkah . Hanya Syekh Abdul Salam. Dan ibundanya ST. Hadijah serta adik perempuannya yakni Joharmani yang kembali ke Dompu. Isteri Syekh Nurdin dan kedua anaknya yang sudah menyandang gelar Haji akhirnya pulang ke Dompu dengan membawaoleh-oleh berupa kitab suci AL Qur`an sebanyak 7 buah. (Di Dompu dikenal dengan istilah KARO`A PIDU). Konon 7 buah kitab suci AL Qur`an yang di bawa dari Makkah oleh keluarga Syekh Nurdin tersebut saat ini masih tersimpan dengan baik di rumah kediaman (Asi Mpasa) Ruma Siwe (Hj.ST Hadijah Isteri Almarhum Sultan Muhammad Tajul Arifin Siradjuddindin,Sultan Dompu terakhir)..

Islam menjadi Agama resmi Kerajaan Dompu ketika putra pertama Raja Dompu yakni LA BATA NA`E naik Tahta menggantikan Ayahandannya. Untuk memperdalam ilmu Agama Islam,La Bata Na`E pergi meninggalkan Dompu untuk menimba Ilmu mulai dari Kerajaan Bima,Makassar (GOA) bahkan sampai ke tanah Jawa. Setelah menguasai berbagai macam ilmu Agama Islam, La Bata Na`E akhirnya kembali ke Kerajaan Dompu untuk meneruskan memimpin pemerintahaan warisan sang Ayahandanya. Raja Dompu Bumi Luwu Na`E. Pada tahun 1545,La Bata Na`E resmi nak Tahta menggantikan Ayahnya. La Bata Na`E selanjutnya mengubah sistim pemerintahaan di Dompu dari Kerajaan menjadi Kesultanan dan bergelar SULTAN SYAMSUDDIN.

La Bata Na`E atau Sultan Syamsuddin merupakan sultan Dompu pertama sekaligus salah satu Sultan Dompu yang pertamakali memeluk Agama Islam dan selanjutnya Agama Islam saat itu resmi menjadi Agama di wilayah Kesultanan Dompu..

Untuk mendampingi dalam memimpin pemerintahaan di Kesultanan Dompu,sultan syamsuddin akhirnya menikah dengan Joharmani saudara kandung Syeh Abdul Salam pada tahun yang sama (1545). Syeh Abdul Salam diangkat oleh Sultan Syamsuddin sebagai Ulama di Istana Kesultanan Dompu. Makam Syekh Abdul Salam terletak di Kampung Raba Laju Kelurahan Potu Kecamatan Dompu, makam keramat tersebut saat ini oleh Pemerintah telah dijadikan salah satu Situs Purbakala. Bahkan untuk mengenang nama Syekh Abdul Salam,di dekat makam Syekh Abdul Salam terdapat pemakaman umum yang dinamakan oleh warga Dompu yakni `RADE SALA` (Kuburan Abdul Salam).

Kemudian sekitar tahun 1585, datanglah beberapa saudagar/ pedagang sekaligus ulama Islam dari Sumatera yakni bernama Syekh Hasanuddin, Seykh Abdullah dari Makassar dan Sykeh Umar Al Bantani dari Madiun Jawa Timur, dan selanjutnya mereka ini menetap di Dompu untuk membawa Syi’ar Agama Islam.

Kedatangan 3 Ulama dari negeri seberang tersebut rupanya mendapat simpatik yang baik dari sultan Dompu dan masyarakat diwilayah kesultanan Dompu. Untuk membuktikan rasa simpatik dan hormatnya terhadap ketiga orang ulama tersebut akhirnya, Syekh Hasanuddin mendapat kehormatan dari Sultan Syamsuddin untuk menduduki salah satu jabatan yakni QADI (setingkat menteri Agama di kesultanan) dan selanjutnya bergelar WARU KALI. Kemudian Syekh Umar AL Bantani dan Syekh Abdulah dipercaya Sultan Syamsuddin sebagai Imam Masjid di Kesultanan Dompu. Syekh Hasanuddin yang bertempat tinggal di Kandai I meninggal dunia dan dimakamkan di tempat itu pula. Oleh masyarakat Dompu lokasi atau komplek pemekaman tersebut kini di kenal dengan sebutan MAKAM WARU KALI. Pada masa pemerintahaan Bupati Dompu H.Abubakar Ahmad,SH periode (2000-2005) Waru Kali di lakukan penelitian dari tim Arkelogi dan Purbakala yang dipimpin oleh DR.Haris Sukandar dan Dra. Ayu Kusumawati menyimpulkan bahwa lokasi Waru kali merupakan peninggal bersejarah tinggi di Dompu ribuan tahun yang lalu dan akhirnya komplek tersebut ditetapakan sebagai salah satu situs peninggalan Purbakala yang bernilai sejarah tinggi. Situs Waru Kali berdekatan dengan Komplek situs Doro Bata di Kelurahan Kandai I Kecamatan Dompu. Menurut cerita di Dana Dompu, Syekh Umar Al Bantani dan Syekh Abdullah membangun sebuah tempat ibadah (Masjid/Mushola) yang berukuran kurang lebih sekitar 4X4 meter tepatnya di dekat perkampungan yang diberi nama Karijawa. Masjid tersebut konon merupakan satu-satunya Masjid Kesultanan Dompu. Menurut riwayat,bekas tempat bangunan Masjid yang di bangun oleh dua orang ulama terkenal itu kini tempatnya sudah berubah fungsi menjadi komplek kantor Kelurahan Karijawa. Sedangkan Masjid Agung Baiturahman Dompu dahulu kala lokasi tersebut merupakan tempat atau bekas Istana Kesultanan Dompu.(*).

CATATAN :

Beberapa makam kuno milik para ulama yang sangat berjasa menyebarkan Islam di Dompu saat ini sebagaian masih dapat dilihat di beberapa tempat di Dompu seperti makam Syekh Abdul Salam di kampong Raba Laju Kelurahan Potu (Rade Sala), kemudian makam Syekh Hasanuddin di keluarahan kandai I Kecamatan Dompu. Makam tersebut oleh warga Dompu dikenal dengan sebutan makam Waru Kali (Rade Waru Kali). Kemudian di Ja`do terdapat pula makam ulama besar di Dompu yakni makam milik Syekh Nurdin,Kemudian di Bukit DORO SAWETE terdapat makam tua yang letaknya diatas bukit,makam tersebut hanya satu saja,konon makam tersebut milik ulama penyebar Islam di Dompu yakni Syekh Abdurahman yang berasal dari negeri Bagdad (Irak)(*).

MASJID “SYEKH ABDUL GANI DOMPU”

Selain barang-barang peninggalan masa prasejarah ternyata di Dompu banyak terdapat pula beberapa peninggalan atau bangunan kuno lainya meskipun saat ini hanya tinggal sisa-sisa kenangan dan hanya sebatas cerita nostalgia. Namun demikian hal itu membuktikan bahwa Dompu pernah berjaya bahkan sempat mencapai puncak jaman keemasan di masa lampau.

Hampir 99% masyarakat Dompu saat ini memeluk Agama Islam dan sisanya beragama Non Muslim. Sejarah juga mencatat bahwa Dompu ternyata sangat besar andilnya khususnya dalam upaya masuknya agama Islam di Nusantara khususnya diwilayah pulau Sumbawa lebih-lebih di daerah Dompu itu sendiri. Bahkan bukti-bukti penyebaran Islam di dompu banyak terdapat di daerah ini seperti adanya makam para ulama yang dulu pernah membawa dan menyebarkan ajaran Islam di wilayah Dompu seperti misalnya,adanya makam “Waru Kali” yang terdapat di kelurahan kandai I Kecamatan Dompu. Oleh masyarakat setempat kuburan kuno tersebut di yakini sebagai makam atau kuburan seorang ulama besar yang berasal dari pulau Sumatera yakni Syekh Hasanuddin. Kemudian ada juga Makam mubalig atau ulama besar lainya yakni makam Syekh Abdul Salam yang berada di Raba Laju Kelurahan Potu Dompu. Selain dua ulama itu di Dompu konon juga dating beberapa ulama dan mubalig besar yang berjasa menyebarkan Islam di Dompu seperti Syekh Umar, Syekh Bantam dari Madiun Jawa Timur, dan juga Syekh Abdullah dari Makasar.

Sejarah juga mencatat bahwa,pengaruh Islam masuk di Dompu sekitar tahun 1628 bahkan pengaruh Islam secara kecil-kecilan sudah mulai masuk di Dompu sekitar tahun 1528, artinya Islam mulai masuk di Dompu sekitar abad ke-16. Selain bangunan makam atau kuburan ulama,di Dompu ternyata juga ada peninggalan bangunan kuno berupa Masjid. Masjid yang paling terkenal dulu bernama Masjid “Syekh Abdul Gani”. Menurut salah seorang tokoh masyarakat yang juga sebagai pemerhati budaya di Dompu H.Muhammad Yahya (71) kepada penulis di kediamannya di Kelurahan Potu Dompu menuturkan, Masjid Syekh Abdul gani tersebut sebenarnya sudah ada sejak jamannya Sultan Abdullah (1871-1882) ayah kandung dari Sultan Dompu yang ke-20 yakni Sultan Muhammad Siradjuddin (Manuru Kupa). Konon masjid tersebut berada atau terletak di dekat bangunan komplek Istana kesultanan Dompu yang saat itu berada di lokasi Masjid Agung Baiturahman (Masjid Raya Dompu). Sayang masjid Syekh Abdul Gani yang juga dikenal dengan nama Masjid Istana tersebut kini lokasinya sudah berdiri bangunan Kantor pemerintah kelurahan Karijawa Kecamatan dompu.

Menurut H.Muhammad Yahya, masjid peninggalan kesultanan tersebut konon ada kaitanya dengan nama besar seorang ulama dan mubalig kondang yakni Syekh Abdul Gani. Bagi masyarakat Dompu nama Syekh Abdul Gani merupakan seorang ulama besar yang sangat berjasa menyebarkan Islam di daerah ini bahkan di pulau Lombok dan Sumbawa serta Bima,Syekh Abdul Gani dikenal sebagai ulama besar yang berjasa membawa Islam di wilayah NTB bahkan di Nusantara. Syekh Abdul Gani konon pernah bersama dengan tokoh pendiri NU (Nahdlatul Ulama) sama-sama menimba ilmu agama Islama di tanah suci Makkah Al-Mukarrohmah,bahkan syekh Abdul Gani merupakan salah seorang Imam masjid di Masjidil Harram di Makkah.

H.Muhammad Yahya juga menuturkan, bangunan Masjid Syekh Abdul Gani di bongkar sekitar tahun 1950-an. Sedangkan bangunan Istana Kesultanan Dompu di bongkar pada saat Jepang masuk di Dompu sekitar tahun 1941. Lokasi atau tempat bangunan Istana Kesultanan Dompu kini sudah berdiri sebuah masjid yakni Masjid Agung Baiturahman Dompu (Masjid Raya Dompu).

Meskipun Masjid Syekh Abdul Gani kini hanya tinggal nama,tetapi di Dompu juga masih ada peninggalan sisa jaman keemasan Islam di daerah ini, bangunan tersebut yakni Masjid Al-Mansyur (Syekh Mansyur). Masjid tersebut terletak di kampung Magenda Kelurahan Potu Kecamatan Dompu. Menurut H.Muhammad Yahya, masjid tersebut dulu hanya sebuah bangunan Mushola dan di bangun oleh Syekh Mansyur. Siapakah sosok ulama besar bernama Syekh Mansyur tersebut? H.Muhammad Yahya salah seorang tokoh sepuh yang tinggal di kelurahan Potu Dompu ini menjelaskan bahwa, Syekh mansyur adalah keturunan atau anak dari Syekh Abdul Gani. ” Masjid ini sudah mengalami perombakan (rehab) sebanyak 4 kali,dan sekarang Masjid tersebut di rehab atau diperbaiki kembali oleh Pak bupati Dompu H.Abubakar Ahmad,” kata tokoh sepuh yang masih cukup energik ini, di kediamanya di Kelurahan Potu Dompu.

Almarhum Syekh Mansyur dikenal sebagai seorang ulama dan mubalig yang cukup kharismatik sama persis almarhum ayahandanya yakni Syekh Abdul Gani. Di kampung Magenda inilah konon Syekh Mansyur melakukan pusat berdakwah sekaligus menjadikan kampung Magenda sebagai pusat kegiatan Islam di dompu. Setelah syekh mansyur wafat,sebenarnya almarhum hendak dimakamkan di wilayah “SO JA`DO” sekarang masuk dalam wilayah Kelurahan Bali I Dompu. Namun karena banyak pertimbangan oleh para tokoh-tokoh masyarakat saat itu,akhirnya almarhum di kuburkan berdekatan dengan masjid yang didirikannya itu (Masjid Al-Mansyur/Masjid Syekh Mansyur).

Masjid yang sudah mengalami perombakan selama empat kali itu,kini kondisinya cukup bagus dan merupakan bangunan permanen,apalagi setelah Bupati Dompu saat itu H.Abubakar Ahmad,SH turun tangan dengan memberikan bantuan untuk merehab Total bangunan yang bernilai sejarah tinggi tersebut.

(*) .Di kutip dari berbagai sumber yang ada di dana Dompu


========================================================================

Dompu Nusa Tenggara Barat


Kabupaten DOMPU adalah sebuah kabupaten di Provinsi Nusa Tenggara Barat, Indonesia. Ibukotanya adalah Dompu. Kabupaten ini berada di bagian tengah Pulau Sumbawa. Wilayahnya seluas 2.321,55 km² dan jumlah penduduknya sekitar 200.000 jiwa. Kabupaten Dompu berbatasan dengan Kabupaten Sumbawa dan Teluk Saleh di barat, Kabupaten Bima di utara dan timur, serta Samudra Hindia di selatan.

Dompu terkenal sebagai penghasil susu kuda liar dan madu. Budaya masyarakat Dompu sangat dekat dengan Kabupaten Bima, Meskipun terdapat sedikit perbedaan dari logat dan bahasanya.

Tokoh yang berasal dari Dompu antara lain adalah Muhammad Feisal Tamin.

Administrasi dan Geografis

1. Administrasi

Kabupaten Dompu merupakan salah satu Kabupaten di Propinsi Nusa Tenggara Barat yang terletak dibagian tengah Pulau Sumbawa. Secara geografis Kabupaten Dompu terletak pada 08 derajat 10.00 samapai 08 derajat,40 00 sampai dengan 118 derajat,30 Bujur timur.

b. Administrasi Pemerintahan

kabupaten Dompu yang beribukota di Dompu terdiri dari 8 Kecamatan yakni Kecamatan Dompu, Woja, Hu'u, Kempo, Kilo, Pekat, pajo dan Kecamatan manggelewa dengan jumlah Desa/kelurahan 57 buah, 9 Kelurahan, 44 Desa difinitif, 4 Desa Persiapan.

Selanjutnya batas wilayah Administrasi sebagai berikut :


- Sebelah Utara : laut flores dan kabupaten Bima
- Sebelah Timur : Kabupaten Bima
- Sebelah selatan : Samudra Indonesia
- Sebelah Barat : Kabupaten Sumbawa

2. Geografis 

Keadaan Geografis Kabupaten Dompu secara umum dapat digambarkan bahwa sebagian wilayah merupakan daerah yang bergelombang sampai berbukit dengan kemiringan tanah 15-40 % dan diatas 40 % sebesar 49,97 % dari luas wilayah, daerah datar 18,48 5 serta daerah landai sebesar 31,55 % dari luas wilayah

Kabupaten Dompu mempunyai luas wilayah 232.460 Ha, dengan jumlah penduduk sebanyak 193.334 jiwa atau 43.616 KK. dari luas tersebut 120.728 ha ( 51,93 % merupakan kawasan budidaya ( di luar kawasan hutan ).

Selanjutnya untuk memperoleh kondisi fisik wilayah Kabupaten Dompu dapat diuraikan sebagai berikut :

a. Keadaan kemiringan tanah dan ketinggian

1. Kemiringan tanah ( lereng )
Sebagaimana telah diuraikan diatas bahwa sebagian wilayah Kabupaten Dompu terdiri dari daerah yang bergelombang sampai berbukit dan sebagaian merupakan daerah datar sampai landai.

Menurut data yang ada setelah diklarifikasi dapat diketahui bahwa :

- Lereng 0 - 25 % ( datar ) seluas 42.950 ha atau 18,48 %
- Lereng 2-15 % (landai ) seluas 73,349 ha atau 31,55 %
- Lereng 15 -40 % begelombang sampai dengan berbukit ) seluas 87,911 ha atau 37,82 % )
- Lereng diatas 40 % (terjal) seluas 28,250 ha atau 12,15 % masing0masing dari lusa wilayah.

2. Ketinggian

Ketinggian tempat dari permukaan air laut merupakan faktor yang perlu diperhatikan didalam menilai fisik suatu wilayah/daerah terutama yang berhubungan dengan penyediaan sumberdaya tanah.

Bersumber pada perhitungan peta ketinggian Kabupaten Dompu skla 1 : 100.000, diperoleh data ketinggian sebagai berikut :

- Ketinggian 0 -100 m dpl seluas 7.705 ha ( 31,28 % )
- Ketinggian 100 - 500 m dpl seluas 107,815 ha ( 46,38 % )
- Ketinggian 500 - 1.000 m dpl seluas 34,150 ha ( 14, 69 % )
- Ketinggian diatas 1.000 m dpl seluas 17.790 ha ( 7,65 % )

Dari data tersebut diatas terlihat bahwa wilayah Kabupaten Dompu terbesar berada pada ketinggian 100-500 m dpl, menyebar pada masing-masing Kecamatan.

b. Iklim

Kabupaten Dompu termasuk daerah yang beriklim tropis dengan musim hujan rata-rata bulan Oktober sampai april setiap tahun, mempunyai tipe iklim D, E dan F ( menurut ferguson dan smith)

Pada musim kemarau suhu udara relatif rendah ( 20 derajat celsius - 30 derajat selsius ) pada siang hari dan dibawah 20 derajat celsius pada malam hari.

Bersumber pada data curah hujan dari Dinas Pertanian tanaman pangan Kabupaten Dompu selama tahun 1984 s/d 1992 dapat diketahui bahwa curah hujan rata-rata pertahun sebanyak 1.038,73 mm, dengan jumlah hari hujan sebanyak 77 hari.

c. Tanah air
Air sebagai sumber penghidupan utama bagi mahluk hidup, termasuk manusia cukup tersedia di Kabupaten Dompu, Persediaan air dimaksud cukup ,untuk kebutuhan hidup sehari-hari dan untuk kebutuhan pengairan bagi daerah pertanian.

Dikabupaten Dompu terdapat 19 buah sungai besar dengan debit yang bervariasi. Pada musim hujan sering terjadi kebanjiran yang kadang-kadang merusak tanaman pertanian ataupun pemukiman penduduk.

Selanjutnya disamping 19 buah sungai besar tersebut masih ada beberapa buah sungai kecil serta mata air yang berair sepanjang tahun, sebagai sumber penghidupan masyarakat.

d. Geologi

Berdasarkan peta Geologi Pulau sumbawa keadaan geologi di Kabupaten Dompu adalah sebagai berikut :

1. Endapan permukaan, menyebar diseluruh wilayah Kecamatan dengan luas areal 11.602 ha atau 5 % dari luas wilayah. Endapan permukaan terdiri dari berkerikil, pasir dan lempung.

2. Batuan Gunung Api, terdiri dari gunung api muda, hasil gunung api tua dan lebih tua. Tersebar di wilayah Kecamatan Pekat, Kecamatan Kempo dan Kecamatan Dompu bagian timur. Luas areal 113.557 ha atau 48,85 % dari luas wilayah Kabupaten Dompu

3. Batuan edapan, Lempung tufan, tersebar diwilayah Kecamatan pekat dengan luas areal penyebaran 1.562, 5 ha

e. Jenis tanah

Jenis tanah dijadikan sebagai dasar pemanfaatan tanah, terutama untuk menentukan jenis tanaman yang cocok sesuai dengan jenis tanahnya dan juga menentukan sifat fisik, yaitu kepekatan terdapat erosi, sehingga sangat penting dalam menentukan fungsi lindung.

Berdasarkan peta Propinsi Nusa Tenggara Barat diperoleh data bahwa jenis tanah yang ada di Kabupaten Dompu antara lain kompleks litosal mediteran coklat, komleks renzina dan litosal dengan luas areal 63.460 ha.


Posting By Romantika Bima (Alan Malingi)

Rumpun Budaya INGE NDAI

Lambitu adalah nama sebuah gugusan pegunungan di sisi tenggara Bima. Dalam Bahasa Bima lama, Lambitu berarti Runcing Menjulang. Di lereng gunung ini didiami oleh orang-orang –orang Donggo Ele yang menyebar mulai dari sisi utara hingga selatan yang kini menjadi desa-desa yaitu Desa Tarlawi ( masuk dalam wilayah kecamatan Wawo), Desa Kuta, Desa Teta, Desa Sambori, Kaboro, dan Kaowa. Pada tahun 2006, sesuai amanat Peraturan Daerah Kabupaten Bima Nomor 2 Tahun 2006 tentang pemekaran wilayah kecamatan Palibelo, Lambitu, Parado dan Soromandi Kabupaten Bima, Lima Desa yaitu Teta, Kuta, Sambori, Kaboro dan Kaowa masuk dalam wilayah kecamatan Lambitu.

Masyarakat yang mendiami lereng Lambitu ini adalah masyarakat yang satu yang tergabung dalam satu komunitas dan rumpun budaya yang dalam bahasa mereka dikenal dengan Rumpun Inge Ndai. Inge Ndai berarti saudara serumpun. Mereka disatukan oleh bahasa rumpun Inge Ndai, kepercayaan dan agama, keahlian, dan ketrampilan serta rasa senasib sepananggugngan sebagai Dou Donggo Ele ( Orang Dataran Tinggi Timur). Orang-orang di gugusan pegunungan Lambitu memiliki karakteristik budaya yang berbeda dengan orang-orang Bima yang menempati hamparan lembah di sebelah timur teluk Bima maupun di wilayah lainnya. Keunikan budaya dan tradisi itu dapat dilihat dari cara berpakaian, atraksi kesenian, upacara adat, rumah adat, bahasa dan keyakinan. Namun sejak masa kesultanan, orang-orang Lambitu dan Donggo sudah mulai membaur dengan suku Mbojo. Mereka sudah memeluk Islam dan melakukan interaksi social dengan suku Mbojo hingga saat ini.

Secara umum kecamatan Lambitu dan Sambori berada pada ketinggian sekitar 500sampai 700 di atas permukaan laut. Puncak tertinggi adalah pada ketinggian 700 meter di atas permukaan laut yaitu di Sambori, Sedangkan desa Kuta berada sekitar 600 meter di atas permukaan laut. Luas wilayah kecamatan Lambitu adalah 5366,96 KM2. Jarak Lambitu dengan kota Bima sekitar 44,3 Km 2 dan dapat ditempuh sekitar 1 jam perjalanan darat. Sekitar 24.488, 7 KM 2 lahan di Lambitu merupakan Hutan Negara.755,82 Hutan dan hamparan lembah. Sedangkan lahan persawahan seluas 1001 KM 2, tegalan dan kebun seluas 1018,9 Km2 dan hanya 102,7 Km2 yang dimanfaatkan sebagai lahan pekarangan.

Jumlah penduduk kecamatan Lambitu sesuai Data Statistik tahun 2009 sebanyak 5.757 Jiwa. Sedangkan jumlah kepala keluarga sebanyak 1.388 KK. Sebanyak 770 KK warga Lambitu menempati rumah sederhana, 608 KK menemnpati rumah semi permanen, dan hanya 8 KK menempati rumah permanen. Sebagian besar warga Lambitu masih menggunakan kayu bakar untuk kebutuhan memasak dan yang paling banyak adalah di desa Sambori. Sementara untuk kebutuhan air minum dan MCK warga di Lambitu masih menggunakan sumber mata air dari sungai-sungai yang mengalir di sekitar wilayah tersebut. Namun saat ini, proyek perpiaan dari PNPM PISEW turut mendukung pasokan air bersih di wilayah ini.

Sarana pendidikan di Lambitu terdiri dari 8 Taman Kanak-Kanak, 7 SDN, 1 Madrasah Ibtidayah, 3 SLTP, 1 SMU dan 1 Madrasah Aliyah. Sedangkan sarana kesehatan baru 1 unit yaitu Puskesmas yang berada di desa Teta, didukung keberadaan 7 posyandu yang tersebar di 5 desa. Di Lambitu baru ada 1 orang dokter umum, 8 orang bidan desa, 11 orang paramedic, 4 orang dukun bayi dan 4 orang dukun sunat.

========================================================================

Ragam Tata Busana Sambori

Salah satu peralatan dan perlengkapan hidup yang sangat diperhatikan oleh masyrakat Sambori dan sekitarnya adalah “Kani Ro Lombo” (pakaian). Pengadaan pakaian harus berpedoman pada adat shahih (adat yang baik). Cara berpakaian, warna, bentuk serta jenisnya tidak boleh bertentangan dengan nilai dan hormat adat. Bagi Masyarakat Sambori, pakaian merupakan salah satu kebutuhan yang mendasar bagi masyarakat. Fungsi utamanya adalah untuk menutup aurat, memilihara kesehatan, sebagai symbol status sosial dan untuk menambah kewibawaan bagi si pemakai.

Tata cara berpakaian, bentuk serta warna dan seni aksesorisnya harus sesuai dengan etika dan estetika masyarakat . Pakaian harus harus diperoleh dengan cara halal, bukan dengan cara yang dilarang oleh agama atau yang haram. Pakaian yang memenuhi persyaratan seperrti itulah yang dinilai “kani ro lombo ma ntika raso” (pakaian yang indah dan bersih) oleh masyarakat.

Bentuk dan warna pakaian beserta kelengkapannya mengundang nilai luhur lagi mulia, harus mampu disosialisasikan oleh si pemakaianya. Karena menurut norma adat antara pakaian dan si pemakai harus sesuai dengan bunyi ungkapan “Raso Ro Ntika Si Kani Ro Lombomu, Karaso Ro Ntikapu Ade ro Itikamu”, secara singkat makna dari ungkapan itu adalah “kalau anda memakai pakaian yang indah dan bersih, maka anda harus pula membersihkan nurani dan itikadmu”.

Pakaian adat masyarakat Sambori agak berbeda dengan pakaian adat suku Bima- Dompu pada umumnya. Dengan kekhasanya, masyarakat Sambori ternyata mampu tampil beda. Ada perbedaan yang jelas antara pakaian sehari – hari dengan resmi, laki – laki dan wanita bahkan remaja dan orang tua.

Pakaian Sehari-Hari Kaum Lelaki 

Untuk pakaian sehari – hari laki – laki dewasa dan tua biasanya memakai Sambolo (ikat kapala) yang terbuat dari kain kapas tenunan sendiri dengan hiasan kotak – kotak berwarna hitam atau putih. Dipadu dengan baju mbolo wo’o atau baju tanpa kerah yang terbuat dari kain katun dijahit sendiri dan biasanya berwarna hitam dan putih. Sarungnya bukan nggoli melainkan tembe me’e (sarung hitam) khas Sambori yang dipintal dan ditenun sendiri dari bahan kapas dan diberi warna hitam dari ramuan nila dan taru. Cara pemakaiannya dengan cara dililitkan pada bagian perut, dalam bahasa Bima disebut Katente. Untuk aksesoris lazimnya mereka mengenakan weri atau bala (kain ikat pinggang) yang diselempangkan melingkar pada bagian perut sampai di atas paha yang berrfungsi untuk menguatkan lilitan sarung atau katente.

Pakaian Perempuan Tua Dan Dewasa 

Lagi pula untuk perempuan tua dan dewasa, mereka umumnya mengenakan baju poro me’e yang terbuat dari kain katun yang dijahit sendiri dan bentuknya menyerupai baju poro pada pakaian adat masyarakat Bima umumnya. Sarungnya yakni tembe me’e, yang dipintal dan tenun sendiri, dibuat agak panjang karena cara memakainya yaitu dengan cara dimasukan secara lurus melalui kepala atau kaki. Kemudian dibiarkan dilepas kembali sampai ke betis atau diatasnya diikat satu kali pada bahu, sekedar pelengkap mereka mengenakankababu (Sejenis Selepang),yang diselempangkan pada bahu. Rambut pun tidak serampangan, mereka sangat menyukai tata rambut dengan membuat semacam ikatan yang di bentuk meninggi di atas kepala yang disebut samu’u tu’u.

Pakaian Untuk Remaja Pria

Untuk remaja pria, ada pakaian khasnya. Mereka biasanya mengenakan baju yang dibuat dari benang katun yang berwarna putih atau warna lainnya biasanya berupa kemeja lengan pendek. Sarungnya tembe me’e yang ditenun sendiri. Ikat pinggang atau salepe, terbut dari kain tenun sendiri. Biasanya berbentuk seperti selendang yang di buat memanjang dengan lebar kurang dari ukuran selendang. Mereka pun mengenakan cincin yang terbuat dari bahan besi putih, perak diberi batu akik.

Pakaian Untuk Remaja Puteri

Untuk remaja putri, lazimnya mengenakan baju poro me’e yang dijahit sendiri yang terbuat dari kain katun. Sarungnya adalah tembe me’e biasanya bergaris putih yang terbuat dari benang kapas yang di pintal dan ditenun sendiri. Supaya kelihatan anggun, remaja putri seringkali mengenakan kababu yang terjuntai dari bahu ke bawah dengan cara diselempangkan. Supaya tanpak manis, rambutnya di tata dengan mengikat di bagian belakang kepala yang sisebut Samu’u. Adapun untuk perhiasan, para remaja putrinya mengenakan kondo (kalung) yang terbuat dari biji – bijian berwarna merah dan hitam , jima edi (gelang kaki), jima rima (gelang tangan) yang terbuat dari besi putih atau perak dan menyerupai ular.

Pakaian Untuk Berpergian 

Pakaian berpergian untuk laki-laki dewasa adalah Sambolo yang terbuat dari kapas yang dipintal dan ditenun sendiri. Warnanya hitam dan kotak-kotak putih. Cara memakainya yaitu menjalin masing-masing ujung sehingga melingkari kepala dalam keadaan tertutup. Cara seperti ini disebut Sambolo Toho. Mereka biasanya memakai baju kemeja kerah pendek yang terbuat dari benang katun atau kain tetoron. Sarungya yaitu tembe me’e yang terbuat dari benang kapas yang ditenun sendiri. Cara memakainya dililitkan pada bagian perut atau yang dikenal dengan katente. Mereka melengkapi diri dengan senjata yang berupa parang yang ujungnya bengkok yang disebut Cila Mboko bagi laki-laki tua dan parang yang bentuknya lurus bagi laki-laki dewasa. Cara memakainya yaitu parang dan sarungnya telah disiapkan tali khusus, kemudian tali tersebut diikatkan melingkar pada pinggang dan parangnya diletakkan pada pinggang sebelah kiri.

Untuk perempuan tua dan dewasa, umumnya mengenakan baju poro me’e yang terbuat dari benang kapas hasil tenunan dan jahitan sendiri. Sarungnya yakni tembe me’e(Sarung Hitam) yang diikatkan pada bagian pinggang kemudian dibiarkan lurus sampai mata kaki. Cara memakai seperti ini disebut Sanggentu. Mereka mengenakan penutup kepala berupa todu(Kerudung) yang terbuat dari kain tipis biasanya berwarna putih dan disongket benang perak. Selalu terselip Wonca(Bakul) yang terbuat dari anyaman bambu yang dipergunakan sebagai bekal di jalan atau berisi rempah-rempah untuk diberikan pada lembaga yang berada di desa lain. Biasanya mereka tidak memakai alas kaki.

Untuk remaja pria, mereka biasanya mengenakan baju kemeja lengan pendek yang terbuat dari benang katun atau tetoron yang berwarna putih. Mereka memakai ikat pinggang yang terbuat dari kain yang dibuat agak melebar sehingga memperkuat ikatan atau lilitan sarung. Senjatanya berupa golok yang terbuat dari besi dan sarung dari kayu yang diselipkan pada pinggang. Alas kaki adalah Sadopa yang terbuat dari kulit binatang atau karet.

Untuk remaja putri biasanya mengenakan tata rambut yang ditata sedemikan rupa sehingga membentuk seperti undak di atas kepala yang disebut samu’u Tuta. Umunya mereka menggunakan baju poro me’e (Baju lengan pendek hitam) yang terbuat dari kain tenun atau dari kain blacu berwarna hitam yang diberi hiasan renda pada ujung bawah dan pada bagian kerahnya. Sarungnya terbuat dari benang kapas yang dipintal dan ditenun sendiri. Supaya tampak anggun, mereka mengenakan kababu yang diselempangkan pada bahu, yang terbuat dari benang katun yang disongket dengan benang perak. Untuk perhiasan, remaja wanita memakai karung manik-manik yang terjuntai dari leher ke dada. Mereka tidak memakai alas kaki. (Sambori = Alan Malingi )

========================================================================

Kreajinan Dan Kreasi Masyarakat Sambori

Pada umumnya Kerajinan tradisional adalah proses pembuatan atau pengadaanperalatan dan perlengkapan hidup mencakup pakaian, perumahan, alat-alat rumah tangga, senjata, alat-alat produksi, alat-alat transportasi dan lain sebagainya. Proses pembuatannya harus berpedoman pada nilai dan norma budaya, sebab semua perlengkapan hidup yang dibuat merupakan salah satu unsur budaya.Ketrampilan yang dimiliki oleh para pengrajin diperoleh dari warisan leluhur tanpa melalui pendidikan formal. Bermodalkan ketrampilan yanng dimiliki, mereka mampu membuat berbagai jenis barang walau dengan peralatan yang sederhana. Bahan baku yang dibutuhkan, mudah diperoleh disekitar lingkungannya, antara lain Tumbuh-tumbuhan, Logam, Batu-batuan, tulang dan Kulit hewan dan sebagainya.


Kerajinan tradisional Sambori kaya dengan jenis dan bentuknya. Bukan hanya tahan lama dan kuat, tetapi juga mengandung nilai seni budaya yang tinggi. Karena itu kerajinan tradisonal Sambori harus dilestarikan oleh Pemerintah dan Masyarakat. Kalau usaha pelestarian dan pengembangan itu tidak segera dilaksanakan secara sungguh-sungguh, maka dikhawatirkan dalam waktu yang tidak lama kerajinan tradisional Sambori akan dilupakan oleh masyarakat pemiliknya.

Hampir 80 porsen kerajinan Sambori menggunakan Daun lontar, baik lontar yang berdaun lebar maupun berdaun kecil. Karena pohon lontar banyak ditemukan tumbuh secara liar di sekitar Sambori dan sekitarnya. Leluhur orang Sambori memang cukup arif melihat peluang di pelupuk mata. Pohon pandan terus dikembangkan untuk menunjang proses kreatifitas kerajinan warga sambori dari masa ke masa.

Ada lebih dari 10 jenis kerajinan anyaman yang dihasilkan dari tangan dingin perempuan-perempuan Sambori. Kerajinan itu yaitu, Waku(Lupe), sejenis payung tradisional Sambori, Saduku, Kula, Kula Baku,Kaleru, Tare(Nampan), Dipi (Tikar), Wonca, Doku, Sarau dan Sadopa.
1. Waku(Lupe) Payung Tradisional Sambori

Orang-orang Sambori menyebut Waku. Tapi orang-orang di Bima menyebutnya Lupe. Waku berbentuk lonjong, menutupi kepala dan badan yang berfungsi sebagai topi/payung sekaligus Jas Hujan. Yah, bisa dikatakan bahwa Waku adalah Jas Hujan Tradisional masyarakat Mbojo tempo dulu terutama di wilayah Donggo Ele yang meliputi Kuta, Teta, Sambori, dan Kaboro. Daun pandan gunung, berdaun lebar lagi panjang, seratnya kuat tidak mudah robek. Waku sangat cocok bagi petani peternak atau pengembala yang sedang bekerja di sawah ladang dan padang nan luas.

Untuk membuat Waku dibutuhkan 8 helai daun pandan berdaun lebar dengan ukuran panjang 2,5 sampai 3 meter. Untuk mengeratkan sambungan tiap helai daun pandan diikit dengan tali dari ijuk (Lidi). Cara membuat Waku tidaklah terlalu sulit bagi masyarakat Sambori. Daun Pandan yang telah diambil dari pohonnya dikeringkan lebih dulu, kemudian dianyam. Cara menganyamnya yaitu dengan menyilang daun pandan yang satu dengan daun pandan yang lainnya dan hampir sama dengan mengayanyam Tikar Pandan atau Dipi Fanda. Yang membedakakanya adalah finishing dari Waku yang menyerupai Topi atau payung. Dibutuhkan waktu satu hari untuk menganyam Waku sampai menghasilkan anyaman Waku yang siap untuk dikenakan terutama untuk melindungi diri dari hujan dan terik matahari.

Waku sangat unik. Ini adalah sebuah warisan leluhur masyarakat Sambori yang perlu dilestarikan keberadaanya. Waku dan komoditi lainnya dari desa ini sangat berpotensi sebagai salah satu souvenir atau oleh-oleh buat wisatawan yang berkunjung. Hal ini tentunya akan menggairahkan para pengrajin di wilayah ini untuk memproduksi Waku (Lupe) dan kerajinan ketrampilan lainnya untuk menopang perekonomian mereka.
2. Saduku

Orang-orang Bima menyebutnya Sanduru. Saduku adalah tempat/wadah untuk menyimpan nasi. Ketika orang-orang Sambori ke kebun atau ke ladang mereka selalu membawa makanan dengan Saduku. Ukuran Saduku juga bermacam-macam, ada yang kecil dan ada juga yang besar. Saduku kecil dengan ukuran tinggi 25 cm dan lebar 20 cm digunakan untuk menyimpan nasi untuk ukuran satu sampai dua orang. Sedangkan yang besar dugunakan untuk kebutuhan lebih dari lima orang. Pengalaman warga Sambori, menyimpan nasi dengan Saduku bisa bertahan sampai 3 hari dan tidak basi.

Bahan dasar pembuatan Saduku adalah daun lontar yang dibelah kecil-kecil. Proses pembuatannya melalui perendaman sekitar 2 jam kemudian dijemur. Lalu pada sore hari hingga malam hari kaum perempuan menganyam saduku secara bersama-sama. Dalam satu hari, warga Sambori mampu menghasilkan 3 sampai 5 Saduku, jika tidak ada kesibukan lain seperti menanam atau bekerja di sawah.

Menurut pengalaman orang-orang Sambori, Saduku yang kuat dan tahan lama sadalah Saduku yang dianyam dari serat Laju. Laju adalah pohon jenis palma, tetapi pohonnya tidak tinggi seperti Fu’u Ta’a (Pohon Lontar) dan Ni’u (Nyiur). Pohon ini banyak terdapat di lahan-lahan kering dan dataran tinggi sekitar Sambori. Daunnya berserat dan kuat tidak mudah putus atau terpotong. Dari Ro’o Laju dibuat dua jenis wadah untuk menyimpan kacang hijau, kadele atau jagung dan beras. Bentuknya bulat panjang seperti kantung, dengan ukuran 25 kilogram. Berdasarkan ukurannya, jenis wadah Dari Ro’o Laju terdiri dari dua jenis, yaitu yang besar bernama Balase dan yang kecil disebut Saduku/ Sanduru.


3. Kula

Kula adalah Wadah untuk menyimpan berbagai jenis barang kebutuhan sehari-hari. Fungsinya bermacam-macam. Ada Kula Lo’i (Kula Obat)Kula tempat menyimpan segala jenis ramuan obat tradisional, pada umunya berbentuk segi empat yang dibagi dalam beberapa kotak kecil.Kula Mama Kula untuk menyimpan sirih, pinang dan kapur sirih. Dan Kula Bongi (Kula Beras),Kula untuk menyimpan beras

Bentuknya bersegi empat dengan ukuran 15 sampai 20 cm. Bahan utama pembuatan Kula adalah daun lontar yang dibelah kecil-kecil.Setiap rumah orang Sambori wajib memiliki Kula. Biasanya Kula disimpan di ruang keluarga untuk menerima tamu. Proses pembuatannya juga sama dengan saduku, dikerjakan secara bersama-sama oleh para gadis dan kaum perempuan Sambori. Dalam sehari mereka mampu menghasilkan lebih dari lima buah Kula.
4. Kula Baku

Hampir sama dengan Kula, hanya saja ukuran Kula Baku lebih kecil daripada Kula. Hasil anyaman ini berfungsi untuk menyimpan Sirih maupun rempah-rempah seperti kunyit, jahe, bawang putih, dan lain-lain. Bahan utama pembuatan Kula Baku juga adalah daun lontar yang dibelah kecil-kecil.Setiap rumah orang Sambori wajib memiliki Kula. Bersama Kula, Kula Baku juga disimpan di ruang keluarga untuk menerima tamu. Proses pembuatannya juga sama dengan Kula dan Saduku, dikerjakan secara bersama-sama oleh para gadis dan kaum perempuan Sambori. Dalam sehari mereka mampu menghasilkan lebih dari lima buah Kula Baku.
5. Kaleru

Hampir sama dengan anyaman lainnya, Kaleru juga berfungsi untuk menyimpan Sirih maupun rempah-rempah seperti kunyit, jahe, bawang putih, dan lain-lain. Bahan utama pembuatan Kaleru juga adalah daun lontar yang dibelah kecil-kecil.Setiap rumah orang Sambori wajib memiliki Kaleru. Bersama Kula, Kula Baku juga disimpan di ruang keluarga untuk menerima tamu. Proses pembuatannya juga sama dengan Kula dan Saduku, dikerjakan secara bersama-sama oleh para gadis dan kaum perempuan Sambori. Dalam sehari mereka mampu menghasilkan lebih dari lima buah Kaleru.

6. Dipi Fanda (Tikar Pandan)

Dipi berarti tikar. Sedangkan Fanda adalah pandan. Jadi Dipi Fanda adalah tikar pandan. Membuat tikar pandan adalah tradisi turun temurun masyarakat Sambori. Seorang anak perempuan harus memiliki keahlian dalam menganyam tikar pandan. Hampir setiap rumah di Sambori, selalu ditemui orang-orang yang menganyam tikar. Anyaman tikar pandaan sebagian besar digunakan untuk kebutuhan rumah tangga, pamaco(sumbangan untuk hajatan keluarga), dan selebihnya untuk dipasarkan keluar Sambori.

Proses membuat tikar pandan, dimulai dengan pengambilan daun pandan yang berduri. Kemudian, daun dipotong dengan alat penjangat. Lalu, daun direbus dengan air hujan atau air sungai agar warna pandan berganti menjadi putih. Setelah direbus, daun dijemur agar daun benar-benar kering. Setelah kering, daun pandan diluruskan agar pengerjaan pada saat menganyam mudah dilakukan. Dalam satu minggu, perempuan Sambori bisa mengerjakan tikar pandan sebanyak 4 buah. Pekerjaan ini harus benar-benar yang sudah ahli. Untuk mendapatkan ukuran tikar yang besar, harus pandai menyambungnya.
7. Wonca (Bakul) Dan Doku (Nyiru)

Disamping kerajinan dari daun lontar, masyarakat Sambori juga menekuni kerajinan dari bambu dan rotan seperti Wonca atau bakul dan Doku(Nyiru). Namun proses pembuatan kerajinan anyaman ini tidaklah seramai dan sebanyak warga yang melakoni anyaman dari daun pandan atau lontar.

Doku adalah wadah untuk menapis dan membersihkan beras dan kulit gabah atau kerikil yang bercampur dengan biji gabah. Beras yang sudah ditapis atau disaring dengan Doku di masukkan dalam wadah yang bernama Wonca (bakul). Ukuran Wonca bermacam-macam, ada yang besar, sedang dan ada yang berukuran kecil.

Selain sebagai wadah untuk menyimpan gabah dan beras, Doku dan Wonca juga menjadi wadah untuk menyimpan berbagai jenis bahan pangan lainnya, seperti kacang kedelai, kacang hijau , jagung dan lain-lain.
8. Sarau ( Camping)

Sarau adalah topi tradisional Mbojo yang dianyam dari bahan baku bambu. Sarau dapat dipakai oleh kaum laki-laki dan kaum perempuan, bila mereka pergi ke sawah ladang, ke gunung , ke tegalan dan kebun. Bukan hanya untuk melindungi dari kehujanan tetapi juga untuk melindungi diri dari panas terik matahari.

Para pengrajin yang memiliki ketrampilan dalam menganyam tersebar di beberapa desa. Desa-desa yang sampai sekarang masih aktif memproduksi sarau antara lain Desa Ntori, Maria dan Desa-desa lain di Kecamatan Wawo Kabupaten Bima, Desa Lela Mase dan Nungga di Kecamatan Rasanae Timur Kota Bima, dan beberapa desa di Kecamatan Sape Kabupaten Bima.
9. Tare (Nampan) Dari Rotan

Masyarakat Sambori juga kreatif membuat Tare (Nampan) dari rotan dan Bambu. Kreatifitas ini dilakukan untuk kepentingan upacara dan menghadiri undangan Jambuta ( hajatan) keluarga baik yang ada di Sambori maupun di luar Sambori. Biasanya Tare-tare ini dibawa oleh kaum perempuan untuk menyimpan perangkat sirih pinang dan makanan “ Teka Ra Ne’e “( Sumbangan untuk keluarga dan kerabat yang berhajat berupa beras, sayur dan buah-buahan serta bahan makanan lainnya.

10. Sadopa (Sandal Tradisional Sambori)

Tangan-tangan terampil orang Sambori tidak hanya menyentuh anyaman, tapi masalah alas kakipun tak luput menjadi perhatian. Sadopa adalah sandal tradisional yang telah dibuat masyarakat Sambori sejak berabad-abad lamanya. Bahan Dasarnya adalah Kayu hutan yang kuat dan tahan lama seperti kayu Sopa, Kayu Impi dan ada juga dari kayu Nangka.

Cara membuat Sadopa adalah dengan memotong kayu-kayu tersebut dan dibentuk menyerupai sandal sesuai ukuran kaki pemakainya. Hanya saja perbedaannya dengan sandal, Sadopa hanya mempunyai Tangkai di depan yang berfungsi untuk memasukan celah antara Jari dengan ibu jari kaki. Setiap Rumah di Sambori memiliki Sadopa yang perlu terus dilestarikan untuk menjadi souvenir bagi wisatawan.

11. Peralatan Dapur

Hampir seluruh peralatan Dapur masyarakat Sambori dibuat dengan cara tradisional dan secara utuh diambil dari alam. Beberapa peralatan dapur itu adalah Tungku perapian yang berasal dari batu-batu gunung dan batu kali, piring nasi (Kale’a) dari potongan buah labu( Bima= Wila), sendok makan dari batok kelapa, serta tempat air dari labu (wila).

Cara pembuatan alat perkakas itu cukup sederhana yaitu dengan membentuk batok Kelapa misalnya untuk menjadi sendok dan piring nasi. Demikian juga perkakas lainnya. Alat-lat ini cukup kuat, tahan lama dan tidak mudah pecah. Disamping itu, menyimpan air dengan wadah dari labu sangat baik untuk menjaga kejernihan air dan tetap segar jika diminum di teriknya mentara saat di sawah/ lading.

12. Tenunan Sambori

Tenunan Tradisional Bima – Dompu khususnya Sambori jika dicermati secara seksama, di dalamnya mengandung nilai-nilai yang pada gilirannya dapat dijadikan sebagai acuan dalam kehidupan sehari-hari bagi masyarakat pendukungnya. Nilai-nilai itu antara lain: kesakralan, keindahan (seni), ketekunan, ketelitian, dan kesabaran. Di Sambori, menenun merupakan seni kerajinan tangan turun - temurun yang diajarkan kepada anak cucu demi kelestarian seni tenun tersebut. Motif tenunan yang dipakai seseorang akan dikenal atau sebagai ciri khas dari daerah mana orang itu berasal, setiap orang akan senang dan bangga mengenakan tenunan asal daerahnya.

Dalam masyarakat tradisional Sambori, tenunan sangat bernilai dipandang dari nilai simbolis yang terkandung didalamnya, termasuk arti dari ragam hias yang ada karena ragam hias tertentu yang terdapat pada tenunan memiliki nilai spiritual dan mistik menurut adat. Sedangkan, nilai ketekunan, ketelitian, dan kesabaran tercermin dari proses pembuatannya yang memerlukan ketekunan, ketelitian, dan kesabaran. Tanpa nilai-nilai tersebut tidak mungkin akan terwujud sebuah tenun songket yang bagus. Pada umumnya, ragam hias dan warna pada tenunan Sambori adalah warna hitam dan kotak-kotak/garis putih kecil-kecil. Pada masa lalu, perempuan Sambori memproduksi Sarung, kadang juga Sambolo (Destar) dan Weri (Ikat Pinggang).

========================================================================

Syair Kehidupan Lereng Lambitu

Masyarakat Sambori dan sekitarnya adalah masyarakat yang memiliki cita rasa seni tinggi. Syair – syair kehidupan dan keluguan peradaban tercecer dari mulut-mulut damai laki dan perempuan Sambori. Hampir seluruh aktifitas hidup di Sambori tidak terlepas dari syair dan nyanyian yang berisi pantun, nasehat, petuah serta pujian terhadap yang Maha Kuasa.Salah satu contoh adalah syair Belaleha yang berarti Hidup Mati Dengan Tuhan. Setelah Islam masuk di Sambori, syair Belaleha pun disesuaikan dengan ajaran dan aqidah Islam.

Saat ini seni tari dan atraksi kesnian Sambori yang masih tersisa tinggal beberapa jenis saja. Masih ada lima jenis atraksi kesenian baik berupa tarian, atraksi ketangkasan maupun seni music vocal. Atraksi itu adalah Kalero, Belaleha, Arugele, Bola La Mbali dan Mangge Ila, Mpa’a Manca serta Mpa’a Lanca.

1. Kalero
Kalero, yaitu jenis tari upacara untuk menghormati arwah leluhur serta agar anak cucunya yang masih hidup dijauhkan dari bencana. Sebenarnya Kalero bukanlah jenis tari utuh, melainkan merupakan perpaduan tari dan seni musik vokal. Tarian dan Nyanyian Kalero diiringi musik gendang, gong dan Serunai. Sambil bernyanyi, para penari Kalero melakukan gerakan berlari kecil mengelilingi satu sama lain dalam posisi melingkar.

Penari Kalero terdiri dari enam sampai delapan orang penari. Sedangkan pemain musik terdiri dari lima orang yaitu dua orang penabuh gendang, satu orang pemukul Tawa-Tawa( Bima= Katongga), dan seorang peniup Sarone (Sejenis alat musik tiup khas bima yang dibuat dari daun lontar.
2. Belaleha

Menurut sejarahwan dan budayawan Bima, Belaleha merupakan seni music vocal yang tertua. Seni vocal ini berisikan doa dan pengharapan agar tanah dan negeri, keluarga dan masyarakat senantiasa mendapat perlindungan dari Sang Khalik dan dijauhkan dari bencana. Secara umum alunan vocal Belaleha dilantunkan pada acara sunatan/khitanan dan acara pernikahan. Sehingga di kalangan masyarakat Sambori dikenal dengan Belaleha Suna ro Ndoso (Khitanan) dan Belaleha Nika Ro Neku(Pernikahan). Syair Belaleha berisi petuah, nasehat, pantun dan pujian dan harapan kepada yang Maha Kuasa.

Sesuai fungsinya, Belaleha dibagi dalam dua jenis yaitu Belaleha Randa dan Belaleha Ranca. Belaleha Randa dihajatkan untuk penobatan seseorang dalam satu upacara adat dan pada masa pra Islam untuk persembahan sesajian, tetapi setelah Islam ritual itu tidak dilaksanakan lagi. Sedangkan Belaleha Ranca digelar untuk hiburan biasa.

Syair Belaleha

Belaleha,
Alona Tembe Kala
Aloyilana matiri nggunggu
Ndoo poda dikatente Cepe


Belaleha
Ria Ese Tolo Reo
Mamuna Tembe me’e ma riu
Dodoku di salampe cempe

Belaleha
Nuri se tolo naru
Manangi la ntonggu tolu
Oi oluna sacanggi moro

Bela leha
Akadu la joa
Makidi katake hidi
Rasapana ra ngari dompo

Belaleha
Akadu dou matua
Ma wi’ina nggahi karenda
Karenda da mbali mbua

Catatan : syair ini dilantunkan untuk menghibur anak-anak yang lagi disunat. Dan dihajatkan untuk meringankan rasa sakit sang anak ketika disunat.


3. Arugele

Secara umum Arugele adalah tarian dan nyanyian yang berhubungan dengan tanam dan panen. Oleh karena itu, atraksi seni ini biasa digelar di sawah dan huma ketika mulai menanam maupun pada saat panen. Tarian dan nyanyian Arugele dibawakan oleh 6 sampai 8 orang perempuan baik dewasa maupun para gadis. Sambil menyanyi mereka memegang tongkat kayu yang ujungnya telah dibuat runcing dan ditancapkan ke tanah. Mereka berbaris dan melakukan gerakan menancapkan kayu yang diruncingkan itu kemudian menaburkan butir-butir padi, jagung atau kedelai ke tanah yang telah mereka lubangi dengan kayu runcinh tadi. Sementara kaum lelaki mengikuti alunan langkah mereka untuk merapikan dan menutup kembali tanah yang telah ditaburi bibit tadi.

Di kalangan masyarakat Bima ada sejenis tari yang mirip dengan arugele Donggo Ele, yaitu tari sagele, yang biasanya dipentaskan ketika menanam padi di sawah ladang , kemungkinan tari Sagele berasal dari tari Arugele Donggo Ele. Tari sagele hanya dikenal oleh Orang Bima di kecamatan Wawo dan sekitarnya, serta di kelurahan Lelamase Kota Bima.

Seperti halnya Belaleha, Arugele pun berkembang dan dilantunkan bukan hanya pada saat menanam atau panen, tapi nyanyian Arugele juga dilantunkan pada saat acara khitanan maupun pernikahan.

Syair Arugele Ngguda (Arugele Untuk Menanam)

Gele Arugele
Gele Badoca
Lirina Pana Liro
Kone di sarei todu kai sarau
Jagaku palona pahumu piri pela
Bohasi baliro pahu me’e taluru

Gele Arugele
Lino na tolo lino ntauka kantolo
Linona moti lino ntau balata
Linona ade tiwara dou ma eda

Gele Arugele
Ura bura aka main onto doro
Madama dodo dasaina tolo
Jagaku mbeca tembe do’o ra cepe

Gele Arugele
Papa pai la tana’u ra nefa
Campo konci la sabua mafaka
Musyawara kabou mampasa

Catatan : Syair ini menggambarkan suasana di sawah lading ketika menanam, hijaunya alam, terik mentari, nyanyian burung, kebersamaan dan seluruh aktifitas para petani di sawah/lading dan huma.

4. Nyanyian Bola La Mbali dan Mangge Ila

Nyanyian ini cukup sacral. Alunan syair dan lagunya cukup syahdu. Menurut pengakuan para penuturnya, syair dan lagu ini dinyanyikan pada saat-saat tertentu saja yaitu ketika seorang anak mengalami penyakit cacar, dan orang-orang yang mengalami penyakit menahun. Nanyian ini sekaligus menjadi mantra untuk memohon kesembuhan kepada Sang Khalik. Biasanya anak-anak yang kena cacar ditidurkan, kemudian para perempuan/kaum ibu duduk melingkar di sekeliling si sakit dan melantunkan syair Mangge Ila dan Bola La Mbali.

Syair Bola La Mbali
E, hai Bola La Mbali
Ndo Au La Mbali
Sima Kaila
Ei la dei bola
Ngaundaina, e bola la mbali

Syair Mengge Ila
Mangge ila nai 2 x
Ilae bala mange
E Ruma ra ndaita Ruma
Ruma ndaita su’u kai ruma
Ila e Mangge….!

5. Mpa’a Manca

Tari ini dikategorikan Tari Perang yang dimainkan oleh dua orang prajurit laskar kesultanan, ciptaan Sultan Abdul Khair Sirajuddin. Diilhami oleh gerakan tari Mbojo Mpa’a kapodo (tari rakyat) yang dipandukan dengan gerakan penca pinang kabau. Diiringi musik genda Mbojo, bersenjatakan kopodo (sepotong kayu ukuran sekitar 25 cm dan tumpul) atau pemukul dengan aksesoris pasapu monca (sapu tangan kuning) di tangan kiri. Tari ini berkembang pesat di Sambori dan sekitarnya hingga saat ini.

Gerakan Mpa’a Manca mirip dengan pencak silat. Pada tahap awal dua pendekar yang akan berlaga saling menampilkan gerakan-gerakan dan atraksi individu yang cukup menarik. Kemudian pada fase kedua mereka mulai memainkan gerakan menggunakan Kapodo dan saling menyerang. Ketika para pendekar saling menyerang alunan gendang pun trus bertalu-talu. Atraksi kesenian ini berdurasi sekitar 15 menit. Dan menjelang berakhirnya atraksi kedua pendekar bersalaman dan berangkulan sambil memberi hormat kepada para penonton.

6. Mpa’a Lanca(Adu Betis)

Tarian dan atraksi kesenian tradisional Mbojo khusus untuk kaum pria didominasi oleh tarian dan atraksi ketangkasan. Tak ketinggalan pula di Sambori dan sekitarnya. Mpa’a Lanca atau yang dikenal juga dengan atraksi Adu Betis adalah salah satu atraksi ketangkasan yang bisa digolongkan dengan atraksi paling tua di tanah Bima.

Hanya orang-orang tertentu saja yang bisa memainkan atraksi ini. Karena dalam atraksi ini membutuhkan keahlian dan kekebalan khsusus bagi para pemainnya. Sebelum atraksi dilangsungkan, para pemain Lanca harus diisi dulu dengan mantera-mantera dan ilmu kebal.

Lanca dimainkan oleh 4 orang laki-laki dewasa dengan ketentuan 2 orang menyerang dengan menendang betis lawannya. Sementara dua orang lainnya bertahan dengan mendempetkan betis masing-masing. Sebagaimana Mpa’a Manca, Lanca juga diringi alunan gendang, gong dan serunai. Atraksi ini berlangsung dalam durasi sekitar 15 menit. Dan sebelum atraksi berakhir, para pemain bersalaman dan memberi hormat kepada para penonton.
.
========================================================================

Sadopa Sandal Anti Rematik

Sadopa adalah sandal tradisional masyarakat Bima yang digunakan berabad-abad lamanya. Mereka (nenek moyang masyarakat Bima) hidup menyatu dengan alam dan rata-rata berusia lebih dari seratus tahun. Kenapa usia mereka bisa seperti itu ? menurut penelitian, salah satunya adalah karena sandal Sadopa yang dipakainya sehari-hari yang cukup efektif untuk melancarkan peredaran darah terutama mulai dari kaki. Sadopa yang cukup keras dan berpadu dengan jalanan yang berbatu dan kerikil sangat membantu pijatan telapak kaki untuk memompa darah terutama ketika beraktifitas.

Sadopa terbuat dari Kayu hutan yang kuat dan tahan lama seperti kayu Sopa, Kayu Impi dan ada juga dari kayu Nangka. Cara membuat Sadopa adalah dengan memotong kayu-kayu tersebut dan dibentuk menyerupai sandal sesuai ukuran kaki pemakainya. Hanya saja perbedaannya dengan sandal, Sadopa hanya mempunyai Tangkai di depan yang berfungsi untuk memasukan celah antara Jari dengan ibu jari kaki. Pada masa lalu, setiap Rumah masyarakat Bima memiliki Sadopa.Karena sesuai zamannya, hanya Sadopalah yang mereka tahu dan mudah cara pembuatannya.

Dalam konteks kekinian, Sadopa tentu masih relevan baik untuk kesehatan maupun sebagai souvenir untuk wisatawan. Hal ini tentunya disamping untuk melestarikan Sadopa, juga sebagai promosi wisata dan peningkatan taraf hidup masyarakat.

Sumber : romantika bima

Rabu, 23 Mei 2012

Budaya, Tradisi dan Sejarah Kota Bima


Ina Hami "Pelepas Lelah"
Ina Hami, begitulah nama tempat yang berada diantara Kota Bima dengan Kab.Wawo tersebut disebut. Konon, nama ini ada kaitanya dengan tempat tongkrongan yang sangat ramai di Bima yaitu ama Hami. Konon juga, ina Hami ini tinggal jauh dari Ama Hami karena mereka sudah bercerai. Eitssss gosipnya distop dulu, itu hanya guyonan iseng yang sering menggoda in Hami ketika lagi bersinggah. Jalan akses dari kecamatan Sape ke Kota Bima adalah satu jalur dan memakan waktu sekitar 2 jam perjalanan menuju kota Bima. Nah, ada yang unik ketika kita melalui jalan ini.Karena ditengan jarak antara Sape dan Bima terdapat tempat persinggahan yang rasanya cukup nyaman apalagi buat pengendara sepeda motor ataupun mobil. Tempat tersebutlah yang disebut Ina Hami. Tempatnya memang tidak terlalu rame yang jualan, tapi pemandangan disekitar bikin kita betah untuk berlama-lama. Menu di Ina Hami bermacam-macam layaknya tempat tongkrongan pada umumnya. Ada bakso, Mie ayam, Kopi, dan makanan kecil lainya.

Pelanggan Ina Hami juga beragam, selain orang tua juga banyak mahasiswa serta anak2 SMU yang tentunya setiap Mudik pasti melewati Ina Hami.

Banyak tempat lain yang menawarkan tempat yang wah dengan segala fasilitas dan keindahan lainya. Tentunya suasana akan mempengaruhi harga dong. Itulah kelebihan Ina Hami, menawarkan berbagai menu sederhana tapi dengan suasana pegunungan yang indah. Pemandangan indah pegunungan sekitar gratis lo, karena di Ina Hami tidak berlaku "Sussana mempengaruhi Harga".

Jadi, siapapun yang lewat dijamin rugi karena selain suasananya mie ayam Ina Hami sangat terkenal lezatnya apalagi untuk menghilangkan lelah ketika diperjalanan Ina Hami solusinya.Hm....ngomong2, jadi kepengen cepat pulang...

sumber : http://al-atsari.blogspot.com/

========================================================================

Kebuadayaan lokal yang ternoda

Klau kita berbicara masalah budaya terutama masalah Bima (dana mbojo) wacana tersebut tidak akan terlepas dari sebuah nilai yang terkandung dalam sebuah kebudayaan tersebut, baik nilai yang terkandung pada budaya itu sendiri maupun nilai-nilai slmbolis suatu daerah. “Maja Labo Dahu”slogan ini mempunya nilai yang mendalam bagi warga Bima sendiri karena kata-kata ini merupakan sebuah nasehat yang sifatnya universal dan turun temurun dari generasi ke generasi. Maja labo dahuini sendiri merupakan penanaman sifat malu(maja) dan takut (dahu). Disamnping mempunyai makna tekstual slogan inipun mempunyai makna yang sangat kental mempengaruhi kebudayaan bima. Maja labo dahu mengajak kita untuk malu terhadap segala perbuatan buruk, baik itu yang melanggar adat istiadat, agama dan lain-lain yang bertentangan dengan prinsip kebenaran. sedangkan takut bermakna agar hati-hati pada setiap sikap dan tingkah laku.
Kemudian adapula slogan yang berbunyi: Ngaha aina ngoho mmerupakan antitesis dari komersialisme yang rakus.Disamping nilai-nilai yang terkandung dalam slogan bima juga dikenal dengan yang namanya Kebudayaan Rimpu bagi kaum wanita didaerah Bima.Domain ini sangat terlihat didaerah Bima karena dijalan-jalan, dipasar dan tempat keramaian lainya akan mudah kita temukan wanita dengan pakaian Rimpu nya. Akan tetapi itu dulu, tegaknya budaya seakan dirobohkan oleh gejala negative modernisme. Tradisi Rimpu ini merupakan pakaian yang menyerupai jilbab jaman sekarang yaitu pakaian yang menutupi seluruh tubuh kecuali telapak tangan dan wajah. Konon, tradisi ini lahir beberapa fase setelah Islam masuk Dibima pada awal-awal abad ke-17 Masehi dimasa pemerintahan kerajaan Abdul kahir yaitu raja Bima yang pertamakali masuk Islam
Kemudian terkait dengan hasil karia . Domain inipun biasa kitra temukan berupa situs-situs sejarah yang merupakan karia nyata masyarakat Bima. Dibima bisa kita lihat hasil-hasil karia nyata yang dimaksud contohnya, wadu pa,a yang terletak didesa sawo, pahatan ini meruypakan pahatan gambar dewa siwadalam mitologi klasik Bima yang sedikit mengandung unsur Hindu. Apabila kita telusuri masih banyak lagi contoh-contoh karia nyata masyarakat bima yang bernilai histories.Dalam skala luas, banyak keunikan kebudayaan bima yang unggul dan tentunya tidak dimiliki poleh daerah-daewrah lain. Ini adalah sebuah kebanggaan bagi kita warga bima khususnya. Semua itu akan menjadi sesuatu yang berharga kalau kita bias mengkaji dan mengeksplorasi kebudayaan kita, terutama ditengan derasnya kebudayaan modernisme yang siap menenggelamkan budaya yang lahir dari nenek moyang kita dahulu.

Dibima juga dikenal dengan kearifan local yang sampai sekarang masih ada sebagian daerah dibima yang menjalankannya. Dibima dikenal dengan masyarakatnya yang hidup gotong royong dan saling membantu serta pengambilan keputusan secara musyawarah mufakat. Akan tetapi seiring berkembanganya jamannya jaman, segala tradisi dan kebudayaanpun seolah-olah ikut berubah, tentunya hal ini perlu diwaspadai karena lama-lama kebudayaan klasik akan punnah detelan oleh kebudayaan yang kental dengan unsure politil sehingga tidak asing bagi kita kata-kata siapa yang kuat dia yang menang, kebudayaan seperti ini akan selamanya membuat kaum minoritas tertindas karena pada prinsipnya yang minoritas belum tentu salah dan begitupun sebaliknya.
Dulu proses pengambilan keputusan dilakukan murni atas dasar rasa kekeluargaan dan musyawarah tampa ada unsure politik yang mendiminasi, akan tetapi sekarang tentunya kita sudah tidak tidak asing lagi dengan yang namanya proses pengambilan keputusan Negara demokratis yaitu budaya “Foting” tentunya kita semua paham akan budaya seperti ini mau tidak mau kaum mayoritaslah yang akan menang.

sumber : http://al-atsari.blogspot.com/

========================================================================

Sejarah Kota Bima

Dari hasil penelitian sejarah, Kabupaten Bima berdiri pada tanggal 5 Juli 1640 M, ketika Sultan Abdul Kahir dinobatkan sebagai Sultan Bima I yang menjalankan Pemerintahan berdasarkan Syariat Islam. Peristiwa ini kemudian ditetapkan sebagai Hari Jadi Bima yang diperingati setiap tahun. Bukti-bukti sejarah kepurbakalaan yang ditemukan di Kabupaten Bima seperti Wadu Pa’a, Wadu Nocu, Wadu Tunti (batu bertulis) di dusun Padende Kecamatan Donggo menunjukkan bahwa daerah ini sudah lama dihuni manusia. Dalam sejarah kebudayaan penduduk Indonesia terbagi atas bangsa Melayu Purba dan bangsa Melayu baru. Demikian pula halnya dengan penduduk yang mendiami Daerah Kabupaten Bima, mereka yang menyebut dirinya Dou Mbojo, Dou Donggo yang mendiami kawasan pesisir pantai. Disamping penduduk asli, juga terdapat penduduk pendatang yang berasal dari Sulawesi Selatan, Jawa, Madura, Kalimantan, Nusa Tenggara Timur dan Maluku. Dalam sejarah Bima disebutkan bahwa kerajaan Bima dahulu terpecah –pecah dalam kelompok-kelompok kecil yang masing-masing dipimpin oleh Ncuhi. Ada lima Ncuhi yang menguasai lima wilayah yaitu : 1. Ncuhi Dara, memegang kekuasaan wilayah Bima Tengah 2. Ncuhi Parewa, memegang kekuasaan wilayah Bima Selatan 3. Ncuhi Padolo, memegang kekuasaan wilayah Bima Barat 4. Ncuhi Banggapupa, memegang kekuasaan wilayah Bima Utara 5. Ncuhi Dorowani, memegang kekuasaan wilayah Bima TimurKelima Ncuhi ini hidup berdampingan secara damai, saling hormat menghormati dan selalu mengadakan musyawarah mufakat bila ada sesuatu yang menyangkut kepentingan bersama. Dari kelima Ncuhi tersebut, yang bertindak selaku pemimpin dari Ncuhi lainnya adalah Ncuhi Dara. Pada masa-masa berikutnya, para Ncuhi ini dipersatukan oleh seorang utusan yang berasal dari Jawa. Menurut legenda yang dipercaya secara turun temurun oleh masyarakat Bima. Cikal bakal Kerajaan Bima adalah Maharaja Pandu Dewata yang mempunyai 5 orang putra yaitu : 1. Darmawangsa 2. Sang Bima 3. Sang Arjuna 4. Sang Kula 5. Sang Dewa.Salah seorang dari lima bersaudara ini yakni Sang Bima berlayar ke arah timur dan mendarat disebuah pulau kecil disebelah utara Kecamatan Sanggar yang bernama Satonda. Sang Bima inilah yang mempersatukan kelima Ncuhi dalam satu kerajaan yakni Kerajaan Bima, dan Sang Bima sebagai raja pertama bergelar Sangaji. Sejak saat itulah Bima menjadi sebuah kerajaan yang berdasarkan Hadat, dan saat itu pulalah Hadat Kerajaan Bima ditetapkan berlaku bagi seluruh rakyat tanpa kecuali. Hadat ini berlaku terus menerus dan mengalami perubahan pada masa pemerintahan raja Ma Wa’a BilmanaSetelah menanamkan sendi-sendi dasar pemerintahan berdasarkan Hadat, Sang Bima meninggalkan Kerajaan Bima menuju timur, tahta kerajaan selanjutnya diserahkan kepada Ncuhi Dara hingga putra Sang Bima yang bernama Indra Zamrud sebagai pewaris tahta datang kembali ke Bima pada abad XIV/ XV. Beberapa perubahan Pemerintahan yang semula berdasarkan Hadat ketika pemerintahan Raja Ma Wa’a Bilmana adalah : - Istilah Tureli Nggampo diganti dengan istilah Raja Bicara. - Tahta Kerajaan yang seharusnya diduduki oleh garis lurus keturunan raja sempat diduduki oleh yang bukan garis lurus keturunan raja. Perubahan yang melanggar Hadat ini terjadi dengan diangkatnya adik kandung Raja Ma Wa’a Bilmana yaitu Manggampo Donggo yang menjabat Raja Bicara untuk menduduki tahta kerajaan. Pada saat pengukuhan Manggampo Donggo sebagai raja dilakukan dengan sumpah bahwa keturunannya tetap sebagai Raja sementara keturunan Raja Ma Wa’a Bilmana sebagai Raja Bicara.

Kebijaksanaan ini dilakukan Raja Ma Wa’a Bilmana karena keadaan rakyat pada saat itu sangat memprihatinkan, kemiskinan merajalela, perampokan dimana-mana sehingga rakyat sangat menderita. Keadaan yang memprihatinkan ini hanya bisa di atasi oleh Raja Bicara. Akan tetapi karena berbagai kekacauan tersebut tidak mampu juga diatasi oleh Manggampo Donggo akhirnya tahta kerajaan kembali di ambil alih oleh Raja Ma Wa’a Bilmana. Kira-kira pada awal abad ke XVI Kerajaan Bima mendapat pengaruh Islam dengan raja pertamanya Sultan Abdul Kahir yang penobatannya tanggal 5 Juli tahun 1640 M. Pada masa ini susunan dan penyelenggaraan pemerintahan disesuaikan dengan tata pemerintahan Kerajaan Goa yang memberi pengaruh besar terhadap masuknya Agama Islam di Bima. Gelar Ncuhi diganti menjadi Galarang (Kepala Desa). Struktur Pemerintahan diganti berdasarkan Majelis Hadat yang terdiri atas unsur Hadat, unsur Sara dan Majelis Hukum yang mengemban tugas pelaksanaan hukum Islam. Dalam penyelenggaraan pemerintahan ini Sultan dibantu Oleh : 1. Majelis Tureli ( Dewan Menteri ) yang terdiri dari Tureli Bolo, Woha, Belo, Sakuru, Parado dan Tureli Donggo yang dipimpin oleh Tureli Nggampo/ Raja Bicara. 2. Majelis Hadat yang dikepalai oleh Kepala Hadat yang bergelar Bumi Lumah Rasa NaE dibantu oleh Bumi Lumah Bolo. Majelis Hadat ini beranggotakan 12 orang dan merupakan wakil rakyat yang menggantikan hak Ncuhi untuk mengangkat/ melantik atau memberhentikan Sultan. 3. Majelis Agama dikepalai oleh seorang Qadhi ( Imam Kerajaan ) yang beranggotakan 4 orang Khotib Pusat yang dibantu oleh 17 orang Lebe Na’E.

Dikutip dari http://www.bimakab.go.id/

=======================================================================

Kerajaan dan Dana Mbojo

Peristiwa Penting Menjelang Berdirinya Kerajaan.

1.Kehadiran sang Bima pada abad 11 M, ikut membantu para ncuhi dalam memajukan Dana Mbojo. Sejak itu, ncuhi Dara dan ncuhi-ncuhi lain mulai mengenal bentuk pemerintahan kerajaan. Walau sang Bima sudah kembali ke kerajaan Medang di Jawa Timur, namun tetap mengadakan hubungan dengan ncuhi Dara. Karena istrinya berasal dari Dana Mbojo Bima.



2.Sebelum mendirikan kerajaan, semua ncuhi sepakat membentuk kesatuan wilayah di bawah pimpinan ncuhi Dara.
3.Setelah puluhan tahun berada di Jawa Timur, sang Bima mengirim dua orang putranya, yang bernama Indra Zamrud dan Indra Kumala ke Dana Mbojo. Indra Zamrud dijadikan anak angkat oleh ncuhi Dara. Sedangkan Indra Kumala menjadi anak angkat ncuhi Doro Woni. Seluruh ncuhi sepakat untuk mencalonkan Indra Zamrud menjadi Sangaji atau Raja Dana Mbojo. Sedangkan Indra Kumala dicalonkan untuk menjadi Sangaji di Dana Dompu.

Kerajaan Dana Mbojo Berdiri Pada Pertengahan Abad 11 M.

1.Indra Zamrud di tuha ro lanti atau dinobatkan menjadi Sangaji atau Raja yang pertama.
Setelah Indra Zamrud dewasa dan memiliki ilmu pengetahuan yang luas dalam bidang pemerintahan, maka pada akhir abad 11 M, ia di tuha ro lanti oleh Ncuhi Dara. Dengan persetujuan semua ncuhi, untuk menjadi Sangaji atau Raja Dana Mbojo yang pertama. Dengan demikian berakhirlah jaman ncuhi. Masyarakat Mbojo Bima memasuki jaman baru, yaitu jaman kerajaan. Pimpinan pemerintahan bukan lagi dipegang oleh ncuhi, tetapi dipegang oleh Sangaji atau Raja.

2.Nama Kerajaan.
Sejak berdirinya kerajaan di sekitar pertengahan abad 11 M, Dana Mbojo memiliki dua nama. Kerajaan yang baru didirikan itu, oleh para ncuhi bersama rakyat diberi nama Mbojo. Sesuai dengan kesepakatan mereka dalam musyawarah di Babuju. Tetapi oleh orang-orang Jawa, kerajaan itu diberi nama Bima. Diambil dari nama ayah Indra Zamrud yang berjasa dalam merintis pendirian kerajaan. Sampai sekarang Dana Mbojo mempunyai dua nama, yaitu Mbojo dan Bima.
Dalam masa selanjutnya, Mbojo bukan hanya nama daerah, tetapi merupakan nama suku yang menjadi penduduk di Kabupaten Bima dan Dompu sekarang. Sedangkan Bima sudah menjadi nama daerah bukan nama suku.
Pada masa kesultanan, suku Mbojo membaur atau melakukan pernikahan dengan suku Makasar dan Bugis. Sehingga adat istiadat serta bahasanya, banyak persamaan dengan adat istiadat serta bahasa suku Makasar dan Bugis.
Dou Mbojo yang enggan membaur dengan suku Makasar dan Bugis, terdesak ke daerah Donggo atau pegunungan. Oleh sebab itu, mereka disebut Dou Donggo atau orang pegunungan. Dou Donggo mempunyai adat istiadat serta bahasa yang berbeda dengan dou Mbojo.
Dou Donggo bermukim di dua tempat, yaitu disekitar kaki Gunung Ro’o Salunga di wilayah Kecamatan Donggo sekarang dan di kaki Gunung Lambitu di wilayah Kecamatan Wawo sekarang. Yang bertempat tinggal di sekitar Gunung Ro’o Salunga, disebut Dou Donggo Ipa (orang Donggo seberang), sedangkan yang berada di kaki Gunung Lambitu, disebut Dou Donggo Ele (orang Donggo Timur).

Masa Pertumbuhan
Setelah dilantik menjadi Sangaji atau raja, Indra Zamrud berusaha dan berjuang dengan sungguh-sungguh memajukan kerajaannya. Dalam membangun kerajaan, Indra Zamrud dibantu oleh para ncuhi. Terutama ncuhi Dara, ncuhi Parewa, ncuhi Doro Woni, ncuhi Bolo dan ncuhi Bangga Pupa.
Mungkin ada diantara kita yang bertanya. Apakah pada masa Inda Jamrud belum ada perdana menteri dan pejabat lain ?. Ahli sejarah belum menemukan bukti atau keterangan tertulis, tentang adanya pejabat seperti -perdana menteri dan pejabat lain pada masa Indra Zamrud.
Jabatan seperti tureli Nggampo atau Ruma bicara (perdana menteri), ireli (menteri), Rato, Jeneli, Gelarang dan jabatan lain, mulai populer pada masa sangaji Manggampo Donggo ( sangaji ke 10). Pada masa itu, ada Tureli Nggampo atau Ruma Bicara yang terkenal, bernarna Bilmana kakak dari sangaji Manggampo Donggo.
Sebagai sangaji yang baru di tuna ro lanti, maka Indra Zamrud melakukan pembangunan dalam berbagai bidang, seperti antara lain:
1.Bidang agama/kepercayaan.
Biarpun pengaruh kerajaan Medang (Jawa Timur) amat besar, namun Indra Zamrud tidak memaksakan rakyatnya menganut agama Hindu, seperti agama yang dianut oleh kerajaan Medang.
Rakyat tetap menganut kepercayaan makamba makimbi. Para ncuhi berfungsi sebagai peminipin agama. Sangaji bersama rakyat terus mengamalkan falsafah dan pandangan hidup lama.
Dalam menjalankan roda pemerintahan, Indra Zamrud tetap berdasarkan falsafah maja labo dahu, serta asas mbolo ro dampa dan karawi kaboju. Sangaji harus berperan sebagai hawo ro ninu atau pengayom dan pelindung rakyat. Dalam membangun negeri, sangaji bersama rakyat harus tahan Uji dan ulet. Mereka harus pantang menyerah, sesuai dengan falsafah “Su’u sa wa’u sia sa wale” (walau bagaimana berat tugas yang dijunjung dan dipikul, rakyat harus melaksanakanilya).
2.Bidang Ekonomi.
Indra Zamrud berusalia keras meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Guna mewujudkan cita-cita, ia giat memajukan pertanian, peternakan serta pelayaran dan perniagaan.
Hasil pertanian dan peternakan kian bertambah. Kemakmuran dan kesejahteraan rakyat meningkat. Bahaya kemiskinan dan kelaparan tidak terjadi.

Dibidang pelayaran dan perniagaan mengalami hal yang sama. Pelayaran dan perniagaan bertambah maju. Pelabuhan Mbojo ramai dikunjungi para pedagang dan musafir, dari berbagai penjuru Nusantara. Mereka datang membeli hasil bumi Dana Mbojo, seperti kuda, kerbau, kayu kuning, kayu sopang, rotan dll. Selain menjual hasil buminya, rakyat dapat pula membeli berbagai jenis barang dari para pedagang dan musafir. Berbagai hasil pertukangan atau industri yang indah dan mahal, mereka beli dari para pedagang yang datang ke Dana Mbojo. Barang-barang yang mereka beli antara lain, berbagai jenis keramik, perhiasan dari emas, Perak, kain sutera dan berbagai jenis senjata.

Indra Zamrud dengan bantuan para ncuhi dan dukungan rakyat, telah berhasil meletakkan dasar yang kokoh bagi kehidupan kerajaan. Setelah ia wafat, perjuangannya diteruskan oleh anak cucunya. Sangaji Batara Indra Bima, Batara Sang Luka, Batara Bima, serta Maha Raja Indra Terati melanjutkan perjuangan Indra Zamrud, dalam membangun dou labo dana (rakyat dan negeri).
Kapan Indra Zamrud wafat, tidak dapat diketahui dengan pasti. Walau demikian, ia telah berhasil meletakkan dasar yang kuat bagi kehidupan kerajaan. Pada masa itu kerajaan Mbojo, bagaikan sebatang pohon yang bukan dalam keadaan ncuhi atau ncuri. Melainkan sudah tumbuh tegar berbatang dan berakar kuat, berdaun dan beranting yang indang dan rimbun.

Kerajaan Mengalami Kejayaan.
Pada masa pemerintahan sangaji Manggampo Jawa, di sekitar abad 14 M, kerajaan Mbojo Bima mengalami kemajuan yang amat pesat. Manggampo Jawa adalah putra sangaji Indra Terati dengan permaisuri yang berasal dari bangsawan Majapahit. Itulah sebabnya Manggampo Jawa menjalin kerja sama dengan Majapahit dalam membangun kerajaan.
Dalam rangka meningkatkan kemajuan dibidang ilmu pengetahuan dan teknologi, Manggampo Jawa mendatangkan para ahli dari Majapahit, dibawah pimpinan Ajar Panuli.
Ajar Panuli dan kawan-kawannya, mengajarkan sastra jawa kepada para pembesar istana dan rakyat. Mulai saat itu, rakyat mengenal tulisan, Menurut ahli sejarah, pada masa itu pula sangaji Manggampo Jawa, merintis penulisan naskah kuno yang bernama “bo”. Sayang naskah kuno bo yang ditulis pada masa Manggampo Jawa, sudah tidak ada lagi. Bo yang merupakan sumber sejarah yang masih ada sekarang, berasal dari bo yang ditulis pada masa kesultanan.
Selain berjasa dalam bidang sastra. Ajar Panuli berhasil memajukan ilmu teknologi. Ia mengajarkan cara pembuatan batu bata dan pembuatan keris serta tombak.
Pada masa pemerintahan Batara Indra Luka putra Manggampo Jawa, hubungan dengan Majapahit masih terjalin dengan intim. Begitu pula pada masa pemerintahan sangaji Maha Raja Indra Seri, putra dari Batara Indra Luka.
Ketika pemerintahan sangaji Ma Wa’a Paju Longge, putera dari Maha Raja a Indra Seri, hubungan dengan Majapahit terputus. Sebab pada saat itu Majapahit sudah mengalami kemunduran. Karena terjadi perang saudara yang berkepanjangan, setelah wafatnya Gajah Mada pada tahun 1364.
Ma Wa’a Paju Longge yang, memerintah di sekitar abad 15 M, meningkatkan hubungan dengan kerajaan Gowa. Pada saat itu kerajaan Gowa, sedang berada dalam jaman kejayaan, di bawah raja Imario Gau Tumi Palangga.
Ma Wa’a Paju Longge pergi ke Gowa untuk mempelajari ilmu pemerintahan dan ilmu-ilmu yang lain. Kemudian ia mengirim dua orang saudaranya, yang bernama Bilmana dan Manggampo Donggo ke Gowa.
Sejak itu sistim politik pemerintahan, pertanian, pertukangan dan pelayaran serta perniagaan, mengikuti sistim yang berlaku di Gowa. Seni budaya Gowa ikut pula mempengaruhi seni budaya Mbojo Bima.
Setelah sangaji Ma Wa’a Paju Longge mangkat, ada satu peristiwa yang menarik untuk dijadikan contoh bagi generasi muda.
Menurut ketentuan yang berlaku, apabila sangaji yang mangkat tidak mempunyai putera, maka yang menggantikannya adalah saudaranya yang tertua. Ketentuan itu terpaksa dilanggar oleh Bilmana dan Manggampo Donggo.
Dengan penuh keikhlasan, Bilmana menyerahkan jabatan sangaji kepada adiknya Manggampo Donggo. Ia sendiri memegang jabatan Tureli Nggampo (perdana menteri). Hal ini dilakukan demi rakyat dan negeri. Karena Manggampo Donggo memiliki bakat dan keahlian untuk menjadi sangaji. Sedangkan Bilmana cocok untuk menjadi Tureli Nggampo. Kebijaksanaan ini diperkuat dengan sumpah yang bernama sumpah Bilmana dan Manggampo Donggo. Sejak itu keturunan Manggampo Donggo menjadi raja dan sultan. Sebaliknya, anak cucu Bilmana menjadi Tureli Nggampo atau Ruma Bicara.
Manggampo Donggo bersama Bilmana, bahu membahu membangun kerajaan. Mereka berjuang tanpa kenal menyerah.
Pertanian dan peternakan dikembangkan. Daerah pertanian dan peternakan diperluas. Keduanya mencetak sawah-sawah baru yang subur. Sebagian sawah untuk kepentingan kerajaan dan sebagian untuk rakyat. Daerah yang tidak cocok untuk pertanian, dijadikan daerah peternakan.
Sistim pemerintahan, disempurnakan dan disesuaikan dengan sistim yang berlaku di kerajaan Gowa. Selain sangaji dan Tureli Nggampo, diangkat pula tureli (menteri), jeneli (camat), gelara (kepada desa).
Pelayaran dan perniagaan pun berkembang dengan pesat. Kapal dan perahu ditingkatkan jumlah dan mutunya. Mengikuti ilmu pelayaran dan perniagaan kerajaan Gowa.
Keamanan kerajaan ditingkatkan pula. Angkatan Darat dan Laut diperbaharui. Panglima perang dipegang oleh Bumi Renda, yang merangkap sebagai panglima angkatan darat. Angkatan laut dipimpin oleh seorang laksamana yang disebut Pabise.
Usaha yang dilakukan oleh dua bersaudara, berhasil dengan sukses. Sehingga pada akhir abad 15, kerajaan Mbojo menjadi pusat perniagaan yang ramai di wilayah Nusantara bagian Timur, selain Gowa dan Ternate. Pada saat itu, kerajaan Mbojo menjadi gudang beras selain Lombok.
Perkembangan dalam bidang sastra dan seni budaya pun cukup cerah. Manggampo Donggo memperkenalkan aksara yang dipelajari dari Gowa. Aksara itu akhirnya menjadi aksara Mbojo.
Manggampo Donggo melanjutkan penulisan Bo dengan aksara Mbojo.
Seni budaya dari Gowa, dipelajari dan dikembangkan ditengah masyarakat. Sehingga lahir seni budaya Mbojo, yang banyak persamaan dengan seni budaya Makasar dan Bugis.
Wilayah kekuasaan kerajaan Mbojo Bima, terbentang luas dari P. Satonda di sebelah barat sampai ke Alor Solor di sebelah Timur. Perluasan wilayah dilakukan oleh La Mbila putera Bilmana.
Kejayaan kerajaan Mbojo Bima, terus bertahan sampai pada sangaji Ma Wa’a Ndapa mangkat, putera Manggampo Donggo disekitar abad 16 M.

E.Kerajaan Mbojo Bima Mengalami Kemunduran.
Setelah sangaji Ma Wa’a Ndapa mangkat, maka cahaya kejayaan kerajaan mulai redup dan akhirnya padam.
Pasti ada dikalangan generasi muda yang bertanya keheranan. Kenapa terjadi petaka di kerajaan yang jaya dan besar itu ?. Apakah karena diserang oleh musuh dari luar atau karena ada pemimpin dan rakyat yang berkhianat ?.
Timbulnya petaka bukan karena serangan musuh dari luar, tetapi karena ada musuh dalam selimut. Salah seorang putera raja Ma Wa’a Ndapa yang bernama Salisi berkhianat kepada don labo dana (rakyat dan negeri). Ia berambisi menjadi Sangaji. Untuk mewujudkan ambisinya, Salisi membunuh Sangaji Samara kakaknya sendiri. Kemudian, ia membunuh Jena Teke (putera mahkota ) di padang perburuan mpori Wera.
Walau demikian Salisi tidak berhasil mewujudkan cita-citanya. Majelis Hadat bersama seluruh rakyat mengangkat Sawo (Asi Sawo) menjadi Sangaji. Salisi bertambah kecewa, ia menunggu waktu yang tepat guna mewujudkan cita-citanya.
Pada masa pemerintahan Sangaji Asi Sawo, untuk sementara waktu Salisi berdiam diri, guna menyusun kekuatan. Pada tahun 1605, Salisi menjalin kerja sama dengan Belanda di pelabuhan Ncake (wilayah desa Roka Kecamatan belo / Pali Belo sekarang). Kerja sama itu dinyatakan dalam satu perjanjian yang disebut perjanjian Ncake.
Saat yang dinanti-nanti oleh Salisi tiba. Ketika Sangaji Asi Sawo mangkat, Salisi berusaha untuk membunuh putera Asi Sawo yang bernama La Ka’i, yang sudah diangkat oleh Majelis Hadat sebagai Jena Teke.
Suasana istana dan seluruh negeri kembali kacau. La Ka’i bersama pengikut Iari meninggalkan istana. Pergi bersembunyi di desa Teke (Kecamatan Belo / Pali Belo sekarang), kemudian pindah ke dusun Kalodu yang berada di tengah hutan belantara.
Dengan bantuan Belanda, untuk sementara Salisi berhasil menguasai istana. Kemarahan dan kebencian rakyat kepada Salisi kian berkobar. Mereka terus menyusun kekuatan untuk mengembalikan La Ka’i ke tahta kerajaan.
Akibat ulah Salisi, akhirnya kerajaan Mbojo Bima mundur dan kacau. Rakyat menderita lahir bathin. Perjuangan seluruh sangaji dan rakyat pada masa lalu dikhianati Salisi yang bekerja sama dengan Belanda.

Pengaruh Agama Hindu di Kerajaan Mbojo Bima.
Sampai sekarang belum ada bukti, bahwa masyarakat pada masa kerajaan menganut agama Hindu. Kendati pada masa kerajaan, hubungan Mbojo Bima dengan kerajaan Medang, Kediri, Singosari dan Majapahit amat intim, namun masyarakat tidak merubah kepercayaannya.
Selama berlangsungnya hubungan dengan kerajaan di Jawa, sangaji dan rakyat hanya berguru dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam bidang agama mereka tetap menganut kepercayaan makamba makimba.
Kepercayaan makamba makimbi baru ditinggalkan oleh sangaji dan seluruh masyarakat setelah datangnya pengaruh agama Islam. Terutama setelah berdirinya kesultanan pada tahun 1640 M. Itulah sebabnya, maka agama Hindu tidak berpengaruh dikalangan masyarakat Mbojo Bima.

Mungkin sampai di sini saja cerita singkat Sejarah Kerajaan Bima (Mbojo) karma ini hanya sebatas pengetahuan pnulis. Mungkin dengan adanya satu baris tulisan ini kita sedikit bias tahu bagaima sejarah Mbojo itu sendiri. Dan bagi teman teman-teman Mbojo yang lebih tahu bagaimana itu sejarah Mbojo dapat memberikan Kritik dan saran untuk penulis demi memperbaiki tulisan-tulisan artikel sejarah Mbojo yang akan datang.

Sumber : jamikusuka.wordpres.com

=======================================================================

Tradisi Bima


Inilah uniknya Bima. Dalam satu kawasan dan satu wilayah, terdapat corak dan warna serta cara berpakaian yang agak berbeda. Adalah pakaian Adat Donggo dan Sambori memiliki perbedaan corak dan cara busana dengan masyarakat Bima pada umumnya. Salah satu perbedaan yang menonjol adalah warna pakaiannya yang serba hitam. Kenapa Hitam ? Karena dalam tradisi lama, pakaian-pakaian tersebut sangat melekat dengan upacara-upacara dan ritual masyarakat Donggo lama terutama ritual kematian.

Busana adat masyarakat Donggo dan Sambori di kabupaten Bima memang berbeda dengan busana atau pakaian adat masyarakat Bima pada umumnya. Salah satu ciri yang menonjol adalah corak dan warna pakaiannya yang serba hitam dan menggunakan Sambolo(Sejenis Penutup Kepala yang terbuat dari kain kapas dan biasanya bercorak kotak-kotak). Sejak dulu, masyarakat Donggo yang bermukim di sebelah barat teluk Bima memang punya tata cara dan pengaturan busana yang sangat apik. Pakaian anak-anak, remaja dan dewasa memang dibedakan. Meskipun warna dasar busana mereka adalah hitam.

Untuk perempuan dewasa menggunakan KABABU yang terbuat dari benang katun yang disbut baju pendek (Baju Poro seperti baju adapt Bima yang lengan pendek). Dibawahnya memakai Deko ( sejenis celana panjang sampai di bawah lutut. Untuk perhiasan memakai kalung dan manik-manik giwang. Untuk remaja perempuan tetap memakai Kababu atau baju lengan pendek. Namun dalam cara memaki perhiasan agak berbeda yaitu mereka melilitkan berkali-kali dan dibiarkan terjuntar dari leher ke dada (seperti pada foto ini ).

Untuk kaum pria, mereka mengenakan baju Mbolo Wo’o atau baju leher bundar dan berwarna hitam seperti baju kaos. Dibawahnya mereka mengenakan sarung yang disebut Tembe Me’e Donggo yang terbuat dari benang kapas berwarna hitam dan bergaris-garis putih. Lalu dipinggangnya dipasangkan Salongo sejenis ikat pinggang berwarna merah atau kuning yang berfungsi sebagai tempat untuk menyematkan pisau atau keris atau parang. Senjatanya sekaligus asesoris adalah pisau Mone( Pisau kecil) yang behulu panjang dengan bentuk agak menjorok. Untuk alas kaki atau sandal mereka menggunakan Sadopa yang terbuat dari kulit binatang dan dibuat sendiri. Dalam tradisi masyarakat Donggo, mereka juga membedakan pakaian untuk berpergian dan pakaian sehari-hari. Mereka tetap menggunakan Sambolo dan Tembe Me’e Donggo di bawahnya. Namun mereka menyertakan Salampe yang terbuat dari kain dan berfungsi sebagai ikat pinggang juga.(Sumber : Ensiklopedia Bima : Muslimin Hamzah)

Sumber : alanmalingi.worpress.com