Minggu, 13 Mei 2012

Alat Tenun Tradisional Bima-Dompu

Berdasarkan ketentuan adat, setiap wanita yang memasuki usia remaja harus terampil melakukan Muna ro Medi, yang merupakan kegiatan kaum ibu guna meningkatkan kesejahteraan hidup keluarga. 

Perintah adat tersebut dipatuhi oleh seluruh wanita Mbojo sampai Tahun 1960-an. Sejak usia dini anak-anak perempuan dibimbing dan dilatih menjadi penenun “Ma Loa Ro Tingi” (terampil dan berjiwa seni). Bila kelak sudh menjadi ibu rumah tangga mampu meningkatkan kesejahteraan hidup keluarga.




Keberhasilan kaum wanita dalam meningkatkan mutu dan jumlah hasil tenunannya, memikat hati para pedagang dari berbagai penjuru Nusantara. Mereka datang ke Bima dan Dompu selain membeli hasil alam dan bumi, juga untuk membeli hasil tenunan Mbojo seperti Tembe (Sarung), Sambolo (Destar) dan Weri (Ikat pinggang).
Sebagai masyarakat Maritim, pada waktu yang bersamaan para pedagang Mbojo, berlayar ke seluruh Nusantara guna menjual barang dagangannya, termasuk hasil tenunan seperti Tembe, Sambolo dan Weri. Menurut catatan Negarakertagama, sejak jaman Kediri sekitar Abad 12, para pedagang Mbojo telah menjalin hubungan niaga dengan Jawa. Mereka datang menjual Kuda, hasil bumi dan barang dagangan lainnya. Informasi yang sama dikatakan oleh Tome Pires (Portugis) yang datang ke Bima pada Tahun 1573 M.
Dari keterangan Tome Pires yang lengkap lagi panjang itu, dapat disimpulkan bahwa pada awal Abad 16 M, para pedagang Mbojo sudah berperan aktif dalam percaturan niaga Nusantara, mereka berlayar ke Jawa, Malaka, Maluku dan bahkan ke Cina. Berperan sebagai pedagang keliling yang ulet, modal sedikit tetapi dapat menarik banyak keuntungan.
Kejayaan Muna ro Medi sebagai salah satu sumber penghasilan rumah tangga dan masyarakat, mulai mengalami kemunduran sekitar Tahun 1960-an. Saat itu kegiatan Muna ro Medi mulai ditinggalkan oleh para kaum wanita. Apresiasi terhadap hasil tenunan Mbojo seperti Tembe, Sambolo dan Weri kian berkurang. Dalam kesehariannya, jumlah masyarakat yang memakai Tembe, Sambolo dan Weri terus merosot. Masyarakat terutama kaum wanita lebih mencintai bahan dan model pakaian dari luar, bahkan bangga bila berbusana ala Barat.
Tenunan Bima – Dompu seluruhnya dikerjakan dengan tangan. Alat-alat yang digunakan masih tradisional yang umumnya terbuat dari bahan alam seperti kayu dan bambu. Nyaris tak digunakan bahan logam seperti besi. Alat utama dinamakan tandi. Alat ini adalah sebuah konstruksi kayu berukuran 2 x 1.5 meter tempat merentangkan benang yang akan ditenun.
  1. Tampe : Alat ini terbuat dari kayu Jati dengan panjang 1,2 Meter dan lebar 20 cm. Fungsi alat ini adalah untuk menggulung benang yang sudah di-hani.Hani adalah proses  Merentangkan dan mengatur posisi benang.
  2. Tandi : Alat ini adalah sebuah konstruksi kayu berukuran 2 x 1.5 meter tempat merentangkan benang yang akan ditenun.Ukuran Tandi dengan tinggi 30 cm, tinggi ujung  26 cm dan lebar 21 cm.
  3. Koro Besi : Alat untuk memindahkan posisi benang ( Gun Atas / Pengaturan benang). Alat ini terbuat dari besi panjang ukuran 1,46 meter yang terbuat dari besi ukuran 8 ml.
  1. Koro Kuku : Jika Koro Besi terbuat dari Besi, maka koro Kuku terbuat dari Kayu. Alat untuk memindahkan posisi benang ( Gun Atas / Pengaturan benang). Alat ini terbuat dari kayu panjang ukuran 1,46 meter.
  2. Piso Kuku : Alat yang digunakan pada saat kuku.Terbuat dari kayu panjang ukuran 1,44 cm.
  3. Pusu dan Saraja Pusu  adalah  alat sebagai tempat benang yang akan dipalet. Sedangkan Saraja Pusu adalah Alat sebagai tempat benang yang siap di hani ( Ngame/ Merentangkan dan mengatur posisi benang)
  4. Ngane : Alat Untuk Meng-hani ( Ngane/ merentangkan dan mengatur posisi benang ) benang lusi
  5. Sadike : Alat untuk mengencangkan kain agar jarak kain dan posisi sisi sama.
  1. Cau dan Sisi : Cau adalah alat untuk  Alat untuk memasukkan benang. Sedangkan Sisi adalah alat untuk memasang benang pada cau ( Sisir ). Cau memiliki panjang 2,6 cm dan lebar 9 cm.
  2. Dapo adalah alat untuk menggulung kain yang ditenun. Atau penanmpang sarung/kain yang sudah ditenun. Alat ini terbuat dari kayu jati dengan panjang 1,41 cm dan lebar 12 cm.
  3. Lira : Alat ini terbuat dari kayu pohon asam yang dalam bahasa Bima-Dompu disebut Tera Mangge. Kegunaan Alat kini adalah  untuk merapatkan benang. Panjangnya sekitar 1,41 Cm.
  4. Sadanta Lira : Alat untuk sandaran lira. Alat ini memiliki panjang sekitar 55 cm, tinggi 22 cm. terbuat dari kayu papan.
  5. Lihu : Alat ini terbuat dari kayu pohon beringin yang berfungsi sebagai penopang punggung penenun saat menenun. Panjangnya sekitar 1,45 cm.
  6. Janta : Alat ini berfungsi untuk memalet benang ( Pusu Kai Kafa ).
  7. Langgiri  : Alat untuk memasang benang yang akan di Palet.
  8. Taropo Wila : Alat untuk memasukkan benang pakan ke tenunan.
  9. Taliri : Alat untuk menempatkan pusu agar sama panjang dengan teropo.
Sudah tiba saatnya pemerintah bersama seluruh lapisan masyarakat, untuk segera menyusun langkah-langkah guna meningkatkan kembali apresiasi masyarakat, terhadap kegiatan Muna ro Medi seperti pada kejayaannya. 

(Sumber M. Hilir Ismail, Hajnah Nggaro Kumbe Kelurahan Kumbe Kota Bima, Mujnah Sabali Kumbe Kota Bima )

========================================================================
 Jenis Dan Fungsi Tenunan Mbojo



Secara garis besar jenis dan fungsi kain tenun dapat dibagi dalam empat kelompok yaitu, Tembe (Sarung), Sambolo (Destar), Weri (sejenis ikat pinggang) dan Baju Mbojo. .

A. Tembe (Sarung)

Tembe merupakan barang unggulan yang dihasilkan oleh para penenun. Selain untuk diperjualkan oleh masyarakat lokal, juga menjadi salah satu jenis barang yang laris dalam perdagangan Nusantara, terutama pada era Kesultanan sampai dengan Tahun 1960-an. Berdasarkan jenis dan fungsinya Tembe dapat dibagi sebagai berikut;

1. Tembe Songke (Sarung Songket)
Bahan baku Tembe termasuk motif pada umumnya didatangkan dari luar daerah. Pada masa Kesultanan para pedagang Mbojo, membeli benang untuk Tembe Songke dari Malaka (Malaysia) dan Dana Bara (Singapura). Selain itu  mereka membeli berbagai jenis kain dan asesoris untuk bahan baju adat.

Pada umumnya “Dana” (warna dasar) Tembe Songke berwarna merah hati, coklat dan hitam dengan motif garis-garis kecil dipadukan dengan motif Bunga Samobo, Bunga Satako, Pado Waji dan Kakando, diperindah dengan hiasan benang emas dan perak.
Fungsi utama Tembe Songke adalah untuk dipakai oleh kaum wanita ketika mengikuti upacara adat dan upacara keagamaan. Idealnya Tembe Songke tidak boleh dipakai dalam kehidupan sehari-hari.

2. Tembe Kafa Na’e
Tembe Kafa Na’e (sarung dari benang besar) dalam pengertian, sarung yang ditenun dari benang asli dibuat oleh para penenun sendiri. Bukan benang berasal dari luar seperti Tembe Songke.
Berdasarkan motifnya, Tembe Kafa Na’e dapat dibagi dalam beberapa jenis :
  • Tembe Bali Mpida : Bermotif garis-garis lurus kecil, yang akan membentuk kotak-kotak segi empat ukuran kecil. Karena itu Tembe Kafa Na’e diberi nama “Tembe Bali Mpida” (bermotif garis kecil). Warna dasar (Dana), ada yang hitam, coklat dan putih. Khusus “Tembe Sambea Kai” (sarung untuk sholat), harus berwarna dasar putih (Dana Lanta).
  •  Tembe Bali Lomba : Adalah Tembe Kafa Na’e yang motifnya berupa garis-garis lurus yang besar dan akan membentuk kotak-kotak yang besar pula. Dana (warna dasar) sama dengan warna dasar Tembe Bali Mpida.
  • Tembe Me’e (Sarung Hitam) : Tembe Me’e termasuk jenis Tembe Kafa Na’e yang warna dasarnya Me’e (Hitam) tanpa motif. Sesuai dengan daerah atau Desa asal, Tembe Me’e terdiri dari tiga macam:
  1.  Tembe Me’e Ntonggu, berasal dari Desa Ntonggu Kecamatan Palibelo.
  2. Tembe Me’e Wera, berasal dari Desa Nunggi Tawali dan Desa lain di Kecamatan Wera.
  3. Tembe Me’e Donggo, hasil tenunan kaum wanita Donggo Ipa di Kecamatan Donggo. Warna me’e dibuat dari bahan lokal yaitu dari daun tumbuhan perdu yang oleh masyarakat disebut “Fu’u  Dau” (Pohon Dau).
Jenis Tembe Kafa Na’e sudah langka, karena itu harganya mahal, terutama Tembe Me’e.

Tembe Nggoli : Tembe Nggoli mulai dikenal oleh masyarakat sekitar Tahun 1970-an. Sebenarnya proses pembuatan serta motif dan warna dasar sama dengan Tembe Kafa Na’e. Yang membedakannya adalah benang yang dipergunakan. Kalau Tembe Kafa Na’e ditenun dari benang asli Mbojo, sedangkan Tembe Nggoli ditenun dari benang buatan pabrik, berbentuk gulungan oleh masyarakat benang itu disebut “Kafa Nggoli” (Benang Nggoli). Tembe yang bahan bakunya dari Kafa Nggoli populer dengan nama “Tembe Nggoli”. (Masukan Foto Tembe/Sarung)

B. Sambolo (Destar)
Sambolo sejenis ikat kepala tradisional Mbojo, untuk kaum laki-laki. Pada masa lalu merupakan hasil tenun unggulan setelah Tembe. Mulai usia remaja, kaum laki-laki wajib memakai Sambolo, bila tidak dianggap melanggar adat.
Warna dasar Sambolo hampir sama dengan Tembe Songke, ada merah hati, coklat dan kuning. Dipadukan dengan motif Bunga Satako, Pado Waji dan Kakando. Karena warna dan motif sambolo hampir sama dengan dengan Tembe Songke, maka dinamakan “Sambolo Songke”.
Sekitar Tahun 1950-an, muncul Sambolo jenis baru dibawa oleh para pedagang hewan (kuda) yang pulang dari Jawa Timur (Pasuruan, Probolinggo). Bahannya dari batik, cara memakainya sama dengan memakai blankon Jawa.  Sambolo motif Jawa itu oleh masyarakat diberi nama “Sambolo Bate” (Sambolo Batik). Tetapi kurang digemari oleh masyarakat lokal.

C. Weri  (Ikat Pinggang) dari Malanta Salolo
Ikat pinggang lokal Mbojo dengan warna kuning, merah hati atau coklat dengan motif Pado Waji, Kakando dan Bunga Satako.
Malanta Salolo, yaitu kain putih tanpa motif, ditenun khusus untuk bahan Salolo atau kain kafan.

D. Baju Mbojo
Sekitar tahun 1980-an, para penenun berhasil menambah koleksi hasil karya mereka, dengan menampilkan bahan baju, yang dikenal dengan “baju Mbojo”.
Bahan baju itu tetap tampil dengan warna dasar dan motif Mbojo, dikombinasikan dengan motif-motif baru yang tidak bertentangan dengan nilai dan norma adat. Warna merah tua, biru, coklat dan hijau tetap menjadi warna dasar. Dipadukan dengan Motif Bunga Samobo, Bunga Satako, Pado Waji dan Kakando sehingga produksi baru itu tetap berwajah Mbojo.

Kehadiran Baju Mbojo, mendapat sambutan positif dari masyarakat, terutama golongan menengah ke atas. Pemerintah Daerah menganjurkan kepada seluruh lapisan masyarakat agar mencintai Baju Mbojo. Sayang bagi masyarakat lapisan bawah, sulit untuk menikmati atau memakai Baju Mbojo, karena harganya cukup mahal, tidak terjangkau oleh penghasilan mereka yang pas-pasan. Faktor harga ini pula yang menyebabkan Baju Mbojo kalah bersaing dengan jenis baju yang harganya jauh lebih murah.

Sumber : M. Hilir Ismail & Alan Malingi)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar